Menjelajah Distrik Pecinan, Bertandang ke Masa Lalu

Pemkot ingin kawasan Pecinan seramai Tunjungan

Surabaya, IDN Times - Label metropolitan tak membuat Kota Surabaya kehilangan magis wisata sejarahnya. Ada banyak titik yang bisa dikunjungi untuk melancong sambil belajar sejarah. Salah satunya adalah distrik atau kawasan Pecinan yang terbentang dari Jalan Karet hingga Kembang Jepun. Bangunan bernuansa Tionghoa dan Eropa akan sejenak 'melempar' pengunjung ke masa lalu.

Coba saja datangi Rumah Abu Han di Jalan Karet Nomor 72, Surabaya. Rumah ini tampak mencolok. Pagar merahnya berornamen oriental. Cukup jadi pertanda bahwa pemiliknya adalah seorang keturunan Tionghoa. Sang empunya rumah, Han Bwee Koo bukan sosok sembarangan. Ia adalah seorang kapiten alias petinggi warga Tionghoa di masa kolonial. Rumah itu didirikan sebagai tempat sembahyang keluarga Han.

Dari pintu utama, tamu akan langsung diarahkan ke ruangan tengah. Di ujung ruang berukuran empat kali delapan meter itu terdapat sebuah meja yang berisi patung, dupa, sampai buah-buahan. Di altar itu pula biasanya anak cucu Han Bwee Koo bersembahyang.

Baca Juga: Sambut Imlek, Kota Surabaya Dihiasi Ornamen Khas Pecinan 

Menjelajah Distrik Pecinan, Bertandang ke Masa LaluSuasana altar sembahyang di Rumah Abu Han di Kawasan Pecinan Surabaya, Sabtu (28/10/2023). Khusnul Hasana

Rumah Abu Han dirawat oleh ahli warisnya bernama Robert Han. Ia adalaha keturunan ke sembilan dari Han Bwee Koo. Robert Han mengatakan, keturunan Han Bwe Koo memang cukup banyak, namun hanya dia yang memiliki passion mengurus rumah tua. “Selain passion, saya melihat moyang saya membangun itu dengan susah payah,” kata dia kepada IDN Times, Minggu (29/10/2023).

Baginya, bangunan itu tak ternilai harganya. Tak cuma sejarah, material yang digunakan pun tak sembarangan. “Bangunan itu mempunyai tiga macam arsitek, Melayu atau Jawa itu bisa dilihat dari kayu-kayu seperti keraton. Eropa atau Belanda itu bisa dilihat dari lantai marmer. Tiang-tiang besi itu didatangkan dari Inggris. Arsitek Tionghoa itu dilihat dari ukuran altar sembahyangan, ukiran kusen itu dari kayu yang tidak terputus,” jelas Robert. 

Robert bercerita, pada era Orde Baru rumah tersebut sempat akan diratakan dengan tanah. Jalan Karet, Gula dan Kopi dulu rencananya akan dibuat sebuah kawasan superblok. Segala upaya kemudian dilakukan Robert agar Rumah Abu Han tetap kokoh berdiri. Ia bahkan sampai menggandeng sejumlah universitas.

usahanya terbayar, pada era Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, rumah tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya. Lalu, pada era Wali Kota Eri Cahyadi, rumah tersebut dipercantik. Kini, Rumah Abu Han pun kerap menjadi tempat kunjungan wisatawan mancanegara.

Tak jauh dari Rumah Abu Han, tepatnya di Jalan Slompetan Nomor 26, wisatawan juga bisa mengunjungi bangunan heritage lain, yaitu Hotel Kokoon. Beda dengan Rumah Abu Han, hotel ini memilih menggabungkan desain kolonial dan modern. Berbagai jenis barang antik seperti telepon kantor, mesin tik, dan perlengkapan kantor lainnya sengaja dipampang di meja lobi. Ada juga infokus manual dan pemutar film layar lebar yang memberikan sentuhan khas zaman dulu pada hotel ini.

Menjelajah Distrik Pecinan, Bertandang ke Masa LaluInterior Hotel Kokoon Surabaya yang masih mempertahankan kesan zaman dahulu. IDN Times/Khusnul Hasana

Kesan vintage juga terasa dari kursi, hiasan, serta lemari yang ada di lobi hotel. Deretan sepeda tua lengkap dengan helm lawas jadi pelengkap atraksi visual di sana. 

“Untuk bangunan hotel ini masih asli sejak awal dibangun sekitar tahun 1920an. Bangunan hotel masih asli dari lobi sampai restaurant, hanya ada penambahan bangunan di belakang untuk kamar-kamar hotel, kolam renang, gym studio, dan meeting room di 5 tahun belakang ini,” kata Marketing Komunikasi Hotel Kokoon, Dila.

Hotel Kokoon ini, kata dia, dibangun pada 1920-an. Dulunya, bangunan ini merupakan pabrik korek kayu. Di tahun 2018 pabrik tersebut disulap menjadi sebuah hotel yang cantik dengan tetap mempertahankan keaslinan bangunan.

Bangunan hotel masih asli dari lobi sampai restoran. Tulisan NV Handel M’J Hat Goan yang merupakan nama perusahaan korek kayu masih terpampang jelas. Hingga saat ini, perusahaan itu masih aktif, tetapi berganti nama menjadi PT Dwi Satria Utama (DSU). Pemiliknya, Listjanto Tjiptobiantoro, merupakan keturunan kelima dari pendiri.

“Hotel Kokoon merupakan bagian dari grup perusahaan tersebut dan didirikan pada 2018. Beberapa elemen interior dari masa lalu perusahaan sengaja dibiarkan ada. Barang-barang antik owner yang telah berusia puluhan tahun dipajang dengan anggun di lobi hotel, berfungsi sebagai hiasan yang memiliki nilai estetika,” jelas dia.

Menjelajah Distrik Pecinan, Bertandang ke Masa LaluInterior Hotel Kokoon Surabaya yang menggabungkan desain kolonial dan modern. IDN Times/Khusnul Hasana

Hotel ini juga menyediakan paket wisata Heritage Cycling Package. Para tamu akan diajak mengunjungi tempat wisata bersejarah di Surabaya seperti Rumah Kelahiran Bung Karno, Rumah H.O.S Tjokroaminoto, Kampung Maspati, Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria, Klenteng Coklat, Museum Dr. Soetomo, dan masih banyak lagi. 

“Yang di mana tempat-tempat bersejarah tersebut tidak terlalu jauh juga dari hotel kami. Untuk paket wisata 'Heritage Cycling Package' ini kami sudah menyediakan tour guide ditambah dua sepeda brompton yang siap mengajak berkeliling dan mengenal wisata heritage Kota Surabaya,” pungkas dia.

Rumah Abu Han dan Hotel Kokoon kini memang menjadi dua dari beberapa ikon yang 'dijual' oleh Pemerintah Kota Surabaya untuk menarik pengunjung ke kawasan Pecinan. Distrik itu dipoles dengan berbagai ornamen pecinan di sepanjang jalan. 

Seperti tak mau mengulang kesalahan, Pemerintah Kota Surabaya kini benar-benar serius membangkitkan lagi wisata sejarah di kawasan Pecinan. Maklum, salah satu spot wisata di sana, Kya-Kya Kembang Jepun sempat dihidupkan pada tahun 2003. Namun, upaya itu hanya berjalan selama lima tahun. 

Setelah mati suri belasan tahun, pada Mei 2022 Pemkot Surabaya membuka kembali Kya-kya sebagaiwisata Pecinan. Berbagai macam kuliner Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tersaji di kawasan itu. Berbagai festival juga dihadirkan.  

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi bilang festival semacam itu di Pecinan adalah bagian dari merajut toleransi masyarakat Kota Pahlawan. Apalagi, kawasan Pecinan tak hanya dihuni oleh peranakan saja, melainkan juga etnis Jawa, Madura dan lain sebagainya. 

Meski berbagai intervensi telah dilakukan untuk menghidupkan kawasan ini, Eri masih belum puas diri. Ia akan terus mengembangkan distrik Pecinan agar ramai seperti jalan Tunjungan.

"Saya ingin kampung Kya-kya Kembang Jepun bergerak seperti di Jalan Tunjungan. Setelah Jalan Tunjungan itu saya buka, para pemiliknya merombak menjadi tempat-tempat usaha seperti kafe dan sebagainya dan akhirnya menjadi ramai," kata Wali Kota Eri Cahyadi. 

Eri pun mengajak pemilik toko di kawasan tersebut untuk memoles tembok-tembok usang. Bukan cuma itu, ia juga meminta setiap pemilik usaha juga memasang papan nama toko berbahasa Mandarin dan Indonesia. Hal ini bertujuan untuk lebih menguatkan kembali identitas kawasan itu sebagai Kampung Pecinan.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati menyatakan bahwa sampai hari ini, Pemkot terus menggiatkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata. "Kota kita ini sangat kaya dengan artefak, sejarah dan historisnya. Tentunya dengan bangunan-bangunan yang melekat di Surabaya dan salah satunya di kawasan Kembang Jepun," kata Wiwiek.

Menurut Wiwiek, banyak spot-spot wisata yang bisa dioptimalkan di kawasan Kampung Pecinan Surabaya, mulai dari Jalan Slompretan, Jalan Bongkaran, Jalan Karet hingga Jalan Kembang Jepun Surabaya.

Bagi Wiwiek yang terpenting dari membangun sebuah destinasi wisata bukan hanya membangun tempat, tetapi bagaimana orang-orang di dalamnya berdaya secara ekonomis. “Kita butuh sistem kita butuh keberlanjutan. Pemerintah posisinya adalah memfasilitasi dan mendorong, tetapi ini manakala orang di dalamnya tidak bergerak maka destinasi akan mati. Oleh karena itu living heritage, oleh karena itu manusianya juga harus terlibat,” pungkas dia. 

Rumah Abu Han dan Hotel Kokoon memang berbeda fungsi, namun keduanya menjadi nyawa dalam menghidupkan wisata sejarah. Selain agar orang-orang di sekitarnya berdaya, warisan-warisan yang ada di dalamnya juga ikut terjaga. 

Baca Juga: Tinggal Finishing, Wisata Pecinan Kya-kya Dibuka Pekan Ini

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya