Menyemai Asa di Sekolah Rakyat Kejawan Surabaya

Ternyata masih ada loh anak putus sekolah di Surabaya

Surabaya, IDN Times – Lantunan doa memecah keheningan malam di perkampungan Kejawan Putih BMA, Kecamatan Mulyorejo, Kota Surabaya, Rabu (23/3/2022). Suara anak-anak saling bersahutan ketika memulai aktivitas belajar pukul 19.00 WIB, di rumah paling pojok, tepatnya nomor 33. Rumah pasangan suami istri, Radian Jadid (46) dan Sita Pramesthi (48) ini memang lebih dikenal sebagai sekolahan ketimbang hunian.

Jadid telah menyulap rumahnya menjadi Sekolah Rakyat Kejawan sejak 5 April 2012. Ia memanfaatkan teras rumah berukuran 4 x 2 meter untuk aktivitas belajar anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kebanyakan dari mereka, mengalami kesulitan belajar hingga putus sekolah.

Tak seperti di sekolah formal pada umumnya, anak-anak yang datang tidak perlu berseragam. Mereka boleh memakai setelan pakaian bebas. Ada yang memakai kaus dan celana jeans sederhana, ada pula yang hanya mengenakan kaus bola. Jadid dan Sita tak mempermasalahkannya, terpenting bagi mereka, anak-anak mau belajar bak di sekolah.

Bermula dari rasa khawatir

Menyemai Asa di Sekolah Rakyat Kejawan SurabayaSita Pramesthi (tengah) saat berbincang dengan anak-anak di Sekolah Rakyat Kejawan. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Kebebasan berpakaian ini bukan tanpa dasar. Jadid dan Sita menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Sebab, anak-anak yang belajar di sini dari keluarga dengan perekonomian kelas menengah ke bawah. Jadid dan Sita pun berpakaian sangat sederhana saat mengajar malam itu. Jadid memakai kaus dengan celana kain biasa, sementara Sita mengenakan setelan daster dan kerudung.

Di sela-sela mengajar, Sita menyempatkan berbagi cerita kepada IDN Times ihwal latar belakang mendirikan Sekolah Rakyat Kejawan. Hal yang mendasari pendirian sekolah rakyat ini dari rasa prihatin Sita dan suaminya dengan anak-anak di lingkungan sekitar. Beberapa anak di sini merasa kesulitan belajar, sehingga butuh tambahan bimbingan.

“Karena dari segi pendidikan orangtuanya kurang, jadi tidak bisa mendampingi anaknya belajar,” ujar Sita. Selain pendidikan orangtua yang mayoritas hanya lulusan SD, perekonomian juga tak menunjang untuk membiayai mereka ke tempat bimbingan belajar.

Jika dibiarkan terus menerus, kata dia, anak-anak di sekitar tempat tinggal Sita ini akan ketinggalan belajar. Bahkan, Sita mendapati temuan kalau anak yang kesulitan belajar ini memilih tidak sekolah. Jadid dan Sita dibantu lima orang relawan pun akhirnya membuat sekolah rakyat 10 tahun lalu.

Beri ilmu sekolah, tata krama dan advokasi

Tak sekadar membantu belajar tentang akademik saja. Jadid dan Sita juga menjejali anak-anak di sini untuk berperilaku sopan santun. Hasilnya mulai kelihatan, anak-anak yang dulunya sluman-slumun-slamet, sekarang mau mengucapkan salam saat datang dan pulang dari Sekolah Rakyat Kejawan.

Ketika ada anak yang tidak mau sekolah hingga putus sekolah, Jadid bergegas melakukan advokasi. Dia membujuk anak tersebut agar mau kembali ke sekolah, kemudian ke sekolahannya sebagai wali murid agar anak tersebut diberi kesempatan mengenyam pendidikan lagi. “Kalau ada masalah ya kami yang ke sekolahnya, terus kalau ambil rapor itu ya kadang saya gantian sama istri,” kata Jadid.

Sekolah Rakyat Kejawan ini, sambung Jadid, bukan sebagai sekolah alternatif. Tapi, merupakan wadah untuk memberikan bimbingan tambahan bagi anak-anak di perkampungan sekitar tempat tinggalnya. Saking sayangnya dengan anak-anak sekitar, dalam beberapa kesempatan Jadid dan Sita menyiapkan jajan untuk hadiah selepas belajar.

Jadi sarana kegiatan mahasiswa

Menyemai Asa di Sekolah Rakyat Kejawan SurabayaRadian Jadid (dua dari kanan) bersama Sita, relawan dan anak yang belajar di Sekolah Rakyat Kejawan. IDN TImes/ Ardiansyah Fajar

Saat ini, ada 100 lebih anak-anak yang tercatat ikut belajar di Sekolah Rakyat Kejawan. Namun, anak-anak ini datang secara bergantian. Nah, seiring bertambahnya siswa, Jadid mengajak mahasiswa di sekitar rumahnya untuk jadi relawan. Ia juga membuka pintu lebar bagi mahasiswa atau dosen yang ingin melakukan penelitian. “Karena di sini berbagai persoalan ada, ini seperti laboratorium kehidupan,” kata dia.

Salah satu relawan yang juga mahasiswi Statistika Bisnis Vokasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Hanifah Inayah (19) mengaku sangat senang bisa berbagi ilmu kepada anak-anak di Sekolah Rakyat Kejawan. Nah, himpunan mahasiswa di jurusannya sendiri memang sudah empat tahun berjalan membuat program mengajar di sekolah rakyat ini.

“Tapi selain pengurus (himpunan mahasiswa), mahasiswa lain bisa ikut mengajar karena kami buka volunteer berupa program ‘Vokasi Mengajar’, program ini sudah empat tahun, mengajarnya seminggu dua kali,” dia menjelaskan.

Relawan lainnya, mahasiswa Mekatronika Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), Kevin Rizky (21) termotivasi berbagi ilmu di Sekolah Rakyat Kejawen untuk mengabdi kepada masyarakat. “Karena yang paling berdampak ialah pendidikan, maka dari itu kami tergerak ikut mengajar di sini,” katanya. Hanifah dan Kevin juga prihatin dengan kondisi anak di kota besar seperti Surabaya yang kesulitan belajar bahkan putus sekolah.

Masih ada anak putus sekolah di Surabaya pada 2022

Menyemai Asa di Sekolah Rakyat Kejawan SurabayaIlustrasi Pelajar (SD) (IDN Times/Mardya Shakti)

Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur (Jatim) sudah ada enam anak putus sekolah di Surabaya, periode Januari – Februari 2022. Sekretaris LPA Jatim, Isa Ansori menyebut kalau enam anak yang putus sekolah ini usia SMP. “Ini enam yang melapor, yang tidak melapor itu juga banyak sebenarnya,” katanya saat dihubungi.

Faktor putus sekolah ini beragam, namun yang paling banyak dari tahun ke tahun ialah alasan ekonomi. “Pandemik COVID-19 ini belajar tidak menentu, dari faktor tidak menentu itu anak-anak yang tidak terbiasa disiplin jadi down grade semangatnya. Kebanyakan anak-anak ini kelas menengah ke bawah ekonominya, sehingga kalau dirunut faktornya ekonomi. Pandemik ini memperbanyak anak-anak jadi putus sekolah,” Isa menjelaskan.

Ditambah lagi, sambung Isa, ada tuntutan berupa fasilitas belajar. Karena selama wabah virus corona SARS CoV-2 merebak, sekolah dilakukan dari rumah secara daring. Nah dari sinilah, bagi keluarga tidak mampu secara finansial akan memilih antara makan atau kebutuhan sekolah.

“Kembali lagi ke faktor ekonomi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan belajar, ini pemicu dari data yang ada,” ucap Isa.

Jadi tugas bersama semua lini pemerintah

Fenomena anak putus sekolah ini, harus dilihat latar belakangnya secara menyeluruh. Sebab, hal tersebut nantinya bisa menjadi rujukan pemerintah untuk menanggulanginya. Sehingga, ketika ada anak putus sekolah, lantas tidak hanya menjadi tanggung jawab dinas pendidikan kota/ kabupaten setempat.

“Tugas mengembalikan ke sekolah adalah tugas dinas pendidikan, tapi kalau ada penyebab ekonomi ini tugasnya dinas sosial maupun dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Kalau orangtuanya gak kerja, ya tugasnya dinas tenaga kerja,” kata Isa.

Sehingga, lanjut dia, dibutuhkan kemampuan semua organisasi perangkat daerah di pemerintah kota untuk bersinergi menyelesaikan persoalan yang terjadi. “Sehingga tidak bisa, ketika ada anak putus sekolah yang dituntut dinas pendidikan mengembalikan ke sekolah,” ucap Isa. Karena, masih ada persoalan lain yang belum selesai. Seperti masalah ekonomi di keluarga anak tersebut.

“Menurut saya harus ada kerja bersama antar OPD yang bertanggung jawab. Kalau saya boleh mengacu tadi urusan sekolahnya dinas pendidikan, urusan keluarganya dinas lain yang terkait,” Isa menyarankan.

Baca Juga: Menginspirasi, 7 Pemenang Nobel Ini Ternyata Pernah Putus Sekolah Lho

Upayakan pencegahan dan penanganan

Menyemai Asa di Sekolah Rakyat Kejawan SurabayaIlustrasi Pendidikan (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Surabaya, Yusuf Masruh mengakui kalau masih ada anak putus sekolah di Kota Pahlawan pada awal 2022 ini. Meski tak menyebut angka pastinya, Yusuf memastikan sudah melakukan upaya pencegahan agar angka putus sekolah di Surabaya tidak bertambah. “Yang rentan kami koordinasikan dengan sekolah agar tidak putus,” tukas dia.

Selain itu, Dinas Pendidikan Surabaya juga memberikan penanganan berupa alternatif paket pendidikan agar anak-anak yang putus sekolah tetap mendapatkan ijazah untuk bekal melanjutkan ke pendidikan selanjutnya maupun untuk bekerja. “Ada paket A, B dan C, tapi kita lihat kondisinya dulu,” kata Yusuf.

Lebih lanjut, Yusuf bilang bahwa baru-baru ini dinas pendidikan sudah menggelar alternatif paket pendidikan tersebut. Dia juga menyampaikan kalau faktor anak putus sekolah di Surabaya tidak selalu soal ekonomi keluarga saja. Tapi juga motivasi belajar yang kendur.

“Ada yang ekonomi, tapi ada yang motivasinya. Intinya kami terus motivasilah,” pungkas Yusuf.

Baca Juga: Hamil hingga Tak Bisa Bayar, 160 Anak di Madiun Putus Sekolah

Topik:

  • Faiz Nashrillah
  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya