TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hukum Menerima Takjil dari Non Muslim, Bolehkah?

Para pemburu takjil perlu simak yang satu ini!

Ilustrasi memberi takjil. Pexels/Sasha Lopyrev

Bulan Ramadan menjadi momen yang sangat pas untuk melakukan amalan ibadah sebanyak-banyaknya. Ada yang memperbanyak tadarus Al Quran, memperbanyak sedekah, dan tak jarang pula orang melakukan kegiatan bagi-bagi takjil. Takjil merupakan makanan ringan yang kerap dimakan pertama kali saat waktu berbuka puasa tiba.

Kegiatan berbagi takjil di Indonesia nyatanya tidak cuma dilakukan oleh umat Muslim saja, tetapi non Muslim pun turut membagikannya. Ada yang berpandangan hal tersebut wujud toleransi antarumat beragama. Tak sedikit juga yang bertanya-tanya soal hukum menerima Takjil pemberian orang non Muslim. Tak perlu khawatir, penjelasan berikut mungkin bisa menjawab rasa penasaran kalian.

1. Keutamaan berbagi Takjil

Ilustrasi berbagi takjil. Pexels/Monstera Production

Berbagi Takjil di bulan Ramadan memiliki segudang keutamaan bagi umat Muslim. Di antaranya yakni mendapat pahala seperti orang yang diberi Takjil dan akan didoakan oleh malaikat. Keutamaan mendapat pahala tertuang dalam hadis riwayat Tirmidzi sebagai berikut:

Barang siapa memberi makan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa maka ia mendapat seperti pahala orang-orang yang puasa tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192, Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Pada hadis lain, disebutkan pula orang yang mau meluangkan hartanya untuk berbagi takjil pada orang lain akan didoakan oleh malaikat.

Orang-orang berpuasa telah berbuka di rumahmu, makanan kalian dikonsumsi oleh orang-orang baik, dan malaikat mendoakan Rahmat bagimu. (HR Abu Dawud)

Baca Juga: Hukum Menangis Saat Puasa, Apakah Batal?

2. Hukum menerima takjil pemberian orang non Muslim

Ilustrasi takjil. Pexels/Esra Korkmaz

Namun, bagaimanakah apabila yang memberi Takjil merupakan orang non Muslim? Mengenai hal tersebut, perlu diketahui bahwa makanan yang diberikan oleh non Muslim ini diposisikan sebagai hibah atau hadiah. Ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari.

Ibnu Baththal berkata bahwa melakukan transaksi dengan non muslim hukumnya boleh kecuali dalam kasus jual beli sesuatu yang dapat mendukung kafir harbi untuk memerangi kaum muslim, ... dan diperbolehkan menerima hadiah dari non muslim. (Ahmad bin Ali bin Hajar Abu Fadhal Al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahih Bukhari, [Bairut, Darul Ma'rifat: 1378 H], juz IV, halaman 410).

Nah, jika kita sudah tahu bahwa menerima hadiah dari non Muslim diperbolehkan, lantas apakah hukum yang sama juga berlaku bila kita mengonsumsinya? Pertanyaan ini dijawab oleh Ibnu Baththal yang mengutip pernyataan Imam Al Hasan Al Bashri dalam Kitab Syarah Shahih Bukhari.

Al-Hasan berkata: "Allah menghalalkan makanan orang Yahudi dan Nasrani. Para sahabat Rasulullah SAW juga memakannya. Padahal, Allah telah menyifati orang Yahudi sebagai pemakan riba." (Ibnu Baththal, Syarah Shahih Bukhari, [Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd: tt], juz VI, halaman 338).  

Verified Writer

Kayla Jasmine Yasmara

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya