Trotoar di Kayutangan Heritage. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)
Pada tahun 1920an, trotoar di Kayutangan Heritage terbuat dari batu itu memiliki fungsi yang bagus untuk keamanan para pejalan kaki. Kemudian bentuknya yang kotak-kotak tadi itu bisa membuat aliran air mengalir saat musim hujan. Selain itu orang tidak akan jatuh karena pijakannya kuat.
"Sekarang, tidak ada lagi trotoar yang membuat pejalan kaki merasa aman ketika ada genangan air. Lantai-lantai batu iti sekarang masih ditemui di Stasiun Klakah Lumajang, itu sejaman dengan Kayutangan, dan buat saya akan tetap emrasa aman berjalan di situ meskipun ada hujan atau air," sambungnya dengan raut kecewa.
Selain itu, kini trotoar Kayutangan memiliki struktur naik turun sehingga terkesan tidak rapi. Trotoar itu, kalau terkena akar pohon akan mudah terangkat.
Ia mengungkapkan kalau ternyata batu-batu trotoar di Kayutangan masih ada, tapi sudah ditutupi semen. Batu-batu kuno tersebut ternyata masih bisa dilihat di Toko Riang yang ada di sebelah persis Bioskop Merdeka yang sekarang tinggal menaranya saja.
Alumni prodi Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) ini, menjelaskan alasan pedestarian kuno itu disemen salah satunya karena Kayutangan adalah jalan arteri sebagai poros utama yang membelah kota pendidikan ini. Kemudian ada juga permasahan lahan parkir saat ketika wilayah bagian Kecamatan Klojen akan dijadikan kampung heritage.
"Jadi trotoar dulu dipersempit lalu diperluas lagi karena urusan parkir kendaraan bermotor, tentu berbeda dari masa kolonial yang masih lalu lalang sapi dan pedatinya. Sekarang masalah kita adalah parkir, kemarin yang saya dengar akan ada parkir terintegrasi. Karena di Bandung dan Yogyakarta sudah menerapkan itu, misalnya di Yogyakarta terpusat ada di Jalan Abu Bakar Ali sementara di Bandung atau Braga setahu saya tidak terpusat. Tinggal Malang ini mau seperti apa saya belum tahu," tambahnya.