Potret dagangan salah satu penjual keperluan rumah tangga di pinggir rel kereta api. (IDN Times/Talita Hariyanto)
Gun Gun menceritakan, puncak keramaian pasar ekstrem di pinggiran rel dekat Stasiun Pasar Turi itu, terjadi sekitar pukul 5 sampai 6 pagi. Dalam rentang waktu 5 jam mulai dari buka hingga tutup pukul 8.00, kurang lebih ada empat kereta yang melintasi rel ini. Setelah pukul 8 pagi, aktivitas jual beli di pasar ini sudah berhenti total hingga keesokan harinya.
Belum sampai 10 menit IDN Times mengobrol dengan Gun Gun, sekitar pukul 07.05, sirine palang pintu kereta yang berada tak jauh dari lokasi pasar meriung-riung, menandakan ada kereta api yang hendak melintas. Para penjual maupun pembeli bergegas. Mereka menengok kanan kiri, saling mengingatkan tanda bahaya satu sama lain. Seruan untuk menyingkir sejenak dari area bantaran rel terdengar bersahutan.
"Kereta biasanya lewat sekitar jam 3, jam 6, terus jam 6 lebih seperempat, nah yang barusan ini kereta terakhir, sekitar jam 7 lebih 5 ya tadi," kata Gun Gun melanjutkan ceritanya.
Gun Gun mengungkapkan, kereta api baru akan melintas lagi setelah hari agak siang, sekitar pukul 9.00. Menurutnya, penerapan jam operasional ini berguna untuk mengantisipasi tingkat keramaian lintasan KA. "Jam 8 pokoknya harus steril, mungkin ya karena keretanya sudah mulai ramai," katanya.
Meski tak pernah ada tragedi kecelakaan di area rel kereta api ini, Gun Gun mengaku masih merasa was-was ketika ada kereta api yang melintas. Ia memilih berdiri agak jauh dari bantaran rel, sesaat setelah ia menutup barang dagangannya dengan terpal.
"Kalau orang-orang santai, sudah terbiasa. Begitu kereta lewat, mereka diam di tempat. Kalau saya sih (merasa) ngeri, jadi selalu minggir dulu," ujarnya.
Selama ini memang tidak pernah ada tragedi apa pun di pasar ekstrem ini. Gun Gun berharap agar selamanya tidak ada tragedi, sebab jika ada tragedi, pasar ini pasti langsung ditutup. Hal itu tentu berdampak terhadap mata pencahariannya.