Menelisik Sejarah Alun-alun Blitar, Kental dengan Tradisi Kuno

- Alun-alun Blitar sebelumnya berada di dekat Sungai Pakunden, sebelum dipindahkan akibat letusan Gunung Kelud
- Alun-alun Blitar kental dengan tradisi rampogan macan sebagai respons terhadap harimau yang meresahkan masyarakat
- Alun-alun Blitar mulai alih fungsi setelah dilarangnya tradisi rampogan macan, menjadi ruang terbuka hijau dan area penyerapan air terbesar di Kota Blitar
Kota Blitar, Jawa Timur, adalah salah satu wilayah yang kental dengan nilai sejarah. Selain dikenal sebagai tempat pemakaman Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, wilayah ini turut menyimpan beragam objek wisata yang erat kaitannya dengan zaman kuno. Salah satunya terbukti melalui keberadaan Alun-alun Blitar.
Saat ini, Alun-alun Blitar yang berlokasi di Jalan Merdeka, Kepanjen Lor, Kepanjenkidul, Kota Blitar, telah menjadi ruang tata hijau yang ramah dengan kegiatan masyarakat. Akan tetapi, siapa sangka bahwa pusat kota ini sebelumnya memiliki nilai sejarah yang panjang. Sebelum muncul dengan pesonanya sekarang, Alun-alun Blitar dahulunya kental dengan pagelaran tradisi kuno, rampogan macan.
1. Alun-alun Blitar sebelumnya berada di dekat Sungai Pakunden

Sebelum tahun 1848, pusat Pemerintah Kabupaten Blitar diketahui berada di dekat Sungai Pakunden. Namun, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan imbas letusan Gunung Kelud. Pemindahan dilakukan oleh Bupati pertama Blitar yang bernama Mr. Aryo Ronggo Hadinegoro.
Alun-alun Blitar sebelumnya ikut terdampak erupsi Gunung Kelud. Alhasil, pemindahan alun-alun juga dilakukan bersamaan dengan pemindahan pusat pemerintahan. Pembangunan alun-alun yang baru dilakukan pada 1875. Letak geografis Alun-alun Blitar kemudian berada di wilayah yang sama seperti sekarang.
2. Alun-alun Blitar kental dengan tradisi rampogan macan

Alun-alun Blitar mulanya sering digunakan untuk menggelar tradisi rampogan macan pada zaman kolonial Belanda. Rampogan macan sendiri adalah tradisi yang menampilkan perkelahian antara manusia dengan macan atau harimau. Itu dilakukan sebagai respons keresahan masyarakat Blitar terhadap harimau yang terjadi pada 1880-an.
Keresahan yang dialami masyarakat ternyata bukan tanpa sebab. Itu karena harimau kerap memangsa ternak mereka. Itu juga disebabkan habitat harimau mulai terusik dampak dari pembangunan pabrik gula di kawasan Gunung Betet Ladoyo. Alhasil, pemerintah melakukan sayembara untuk menangkap harimau hingga menjadi titik awal tradisi rampogan macan.
Tradisi tersebut perlahan mengurangi populasi harimau jawa di alam. Bahkan, rampogan macan pernah memakan korban delapan ekor harimau yang dibantai sekaligus dalam satu waktu pada 1887. Pembantaian itu dilakukan untuk memeriahkan acara pernikahan putra Bupati Blitar, RM Djojosoeparto.
Popularitas rampogan macan kemudian mendapat perhatian khusus. Puncaknya terjadi setelah Pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan Undang-Undang Perlidungan bagi binatang mamalia serta burung liar pada tahun 1910. Praktis, sejak saat itu, tradisi ini mulai hilang dari kehidupan masyarakat.
3. Alun-alun Blitar mulai alih fungsi

Alun-alun Blitar beralih fungsi usai tradisi rampogan macan dilarang. Area ini lalu kerap dijadikan sebagai tempat transit bagi pamong praja alias rakyat yang akan menghadap bupati. Alun-alun Blitar juga dipakai untuk menggelar berbagai agenda formal pemerintah.
Bahkan, Alun-alun Blitar telah berevolusi sebagai ruang terbuka hijau pada masa sekarang. Tempat ini turut beralih fungsi menjadi salah satu area penyerapan air terbesar di Kota Blitar. Hal itu penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam. Selain itu, Alun-alun Blitar ramah dengan aktivitas masyarakat karena menjadi sarana tempat bermain maupun olahraga.
Alun-alun Blitar merupakan satu dari sekian cagar budaya yang memiliki nilai sejarah panjang di Kota Blitar, Jawa Timur. Penting bagi kita untuk mengetahui nilai didalamnya supaya dapat menghargai tempat tersebut. Apakah kalian pernah berkunjung ke Alun-alun Blitar sebelumnya?