Belajar Menerjemahkan Rivalitas dari Persela Fans dan Bonek Mania

Dua windu bertikai, keduanya kini duduk satu tribun

Pencinta sepak bola Tanah Air tentu masih ingat bagaimana pendukung Persija, Haringga Sirila meregang nyawa oleh beberapa pendukung Persib. Saat memori duka itu belum sepenuhnya hilang, kekerasan yang mengatasnamakan fanatisme sepak bola terus berulang. Terbaru tentu saja kerusuhan pendukung yang terjadi di luar stadion saat laga semifinal Piala Gubernur Jatim antara Persebaya vs Arema Selasa (18/2). Kerusuhan itu membuat empat motor terbakar dan dua orang terluka. 

Dengan jumlah klub sepak bola terbanyak, Jawa Timur memang memiliki potensi besar gesekan suporter. Banyak derby kerap meminta "tumbal" nyawa, sebut saja Persebaya vs Arema, Persik vs Arema, atau Persebaya dengan Persela Lamongan.  

Jika rivalitas antara pendukung Persebaya vs Arema masih sering berakhir rusuh, tidak demikian dengan Persela Fans dan Bonek Mania. Sempat memanas lebih dari dua windu, kedua kelompok pendukung kini memilih duduk satu tribun. Kisah rujuk mereka bisa jadi percontohan di liga Indonesia. Berikut perjalanannya. 

1. Dulu, semua warga Lamongan adalah Bonek

Belajar Menerjemahkan Rivalitas dari Persela Fans dan Bonek ManiaSuasana di Stadion Gelora Bung Tomo. Dok.IDN Times/Istimewa

Layaknya semua warga Jawa Timur lain, mulanya semua pencinta bola di Lamongan adalah Bonek. Maklum, di era Perserikatan, "Bajul Ijo" adalah satu dari sedikit klub Jatim yang mampu berkompetisi secara reguler. Tentu saja ada klub lain seperti Persema Malang atau Persegres Gresik. Tapi nama mereka jelas kalah beken ketimbang Persebaya. 

Kecintaan warga Lamongan terhadap Persebaya pun tak kalah dengan arek-arek Suroboyo. Cerita sebuah kampung di pantai utara Lamongan adalah contohnya. Daerah itu mendadak sepi pada medio tahun 1997 silam. Yang tersisa saat itu hanya anak-anak dan ibu-ibu.  Sementara, mayoritas pemudanya berangkat tret tret tret ke Jakarta untuk menyaksikan final Liga Indonesia antara Persebaya dan Bandung Raya.  

Malam sebelumnya, sebuah spanduk raksasa bergambar buaya menggigit bola dibuat. Tak sia-sia, spanduk itu nongol di layar kaca ANTV saat final berlangsung di stadion utama Senayan.  Dukungan luar biasa Bonek pun  berbuah manis. Persebaya menjuarai Liga Indonesia. Aji Santoso dan kawan-kawan mampu menggasak Bandung Raya 3-1. Persebaya juara, desa tersebut pun berpesta.  

2. Kemudian Joko Tingkir bangun dari tidur panjangnya

Belajar Menerjemahkan Rivalitas dari Persela Fans dan Bonek ManiaSkuad Persela pada awal tahun 2000an. Instagram.com/perselafc

Kebanggaan sebagai Bonek perlahan luntur saat Persela Lamongan bangun dari tidur panjangnya. Ya, klub yang berdiri tahun 1967 ini mulai menunjukkan tajinya. 

Meski sudah berdiri puluhan tahun sebelumnya, Persela saat itu hanya sibuk main tarkam. Bahkan, orang Lamongan sendiri mungkin banyak yang tak sadar jika memiliki klub lokal. Mereka baru mengikuti kompetisi resmi musim 1994/1995.

Lima tahun berkutat di kasta terendah, Persela akhirnya mampu naik kelas ke Divisi I pada tahun 1999.  Pencinta bola Lamongan pun mulai pindah haluan. Atribut bonek mereka tanggalkan dan berganti dengan warna kebanggaan, biru muda.  

Puncaknya tentu tahun 2003. Ribuan warga Lamongan nglurug ke Solo untuk menyaksikan laga play off Divisi I antara Persela vs PSIM. Joko Tingkir kala itu hanya butuh hasil imbang untuk menemani Persib ke Divisi Utama. 

Keajaiban pun terjadi. Persela, klub dari kota antah berantah, lolos ke kasta tertinggi setelah mampu menahan imbang 0-0 PSIM Yogyakarta. Yang paling diingat tentu adalah tampilnya Ketua Umum Persela yang juga Bupati Lamongan, Masfuk sebagai dirijen suporter. 

Dia naik ke panggung dirijen dan menjadi komando bagi ribuan LA Mania. Sejak saat itu, ada rasa bangga luar biasa kala menyebut diri sebagai orang Lamongan.   

3. Mulai terjadi gesekan dengan Bonek

Belajar Menerjemahkan Rivalitas dari Persela Fans dan Bonek ManiaPendukung Persela saat menyaksikan klub kebanggannya bermain. Instagram.com/perselafc

Layaknya pengantin baru, kecintaan LA Mania pada Persela membuncah pada musim pertama mereka di Divisi Utama tahun 2003/2004. Lewah saat ber-euphoria, lantas murka ketika kalah. Begitu yang terjadi pada tiap pertandingan. 

Hari itu pun tiba. Rabu 5 Mei 2004, untuk pertama kali, Persela menjamu saudara tuanya Persebaya di stadion Surajaya Lamongan. Sebagai pendatang baru, LA Mania tentu ingin menunjukkan eksistensinya di depan Persebaya, klub yang dulu mereka sanjung.  

Lebih dari 20 ribu LA Mania memadati Surajaya. Padahal, stadion tersebut hanya berkapasitas 13 ribu. Bisa ditebak, para suporter meluber hingga ke pinggir lapangan. Pagar stadion juga mereka jebol. 

Situasi makin tidak kondusif karena tuan rumah justru dihajar 0-3 oleh Persebaya.  Hampir semua pendukung masuk ke lapangan. Polisi pun jadi sasaran. Beberapa Bonek yang hadir juga tak luput dari aksi kekerasan. Karena disiarkan secara langsung, ceceran darah dari luka korban terihat jelas tanpa sensor. Babak baru perseteruan Bonek dan LA Mania pun dimulai.  

Baca Juga: Jadi Tuan Rumah, Persela Ditahan Imbang 1-1 Oleh PSIS

4. Sweeping, lempar batu, hingga pembunuhan

Belajar Menerjemahkan Rivalitas dari Persela Fans dan Bonek ManiaSweeping yang dilakukan oleh para pendukung Persela. YouTube.com

Sejak saat itu, Lamongan dan Surabaya terpisahkan dalam urusan sepak bola. Chant rasis masing-masing mereka kumandangkan saat bermain di kandang. Tak hanya umpatan, nyawa pun hilang atas nama fanatisme.  

Salah satu LA Mania yang harus meregang nyawa adalah Gilang. Saat itu, ia bermaksud melakukan sweeping kala Bonek melintas menumpang kereta. Ini adalah upaya balas dendam karena sebelumnya seorang pendukung Persela ditemukan tewas, diduga terbunuh oleh pendukung Persebaya. 

Aksi Gilang justru berujung maut. Kompas.com saat itu memberitakan bahwa ia terlambat turun dari kereta dan jadi bulan-bulanan Bonek Mania. Mayatnya pun ditemukan di pinggir rel pada Januari 2011. 

Berselang setahun, giliran empat bonek meregang nyawa di Lamongan. Mereka terjatuh dari atap kereta usai menerima lemparan batu. Aksi kekerasan lainnya menyusul usai kejadian tersebut. Korban luka hingga meninggal terus bertambah dari kedua kubu.  

5. Lebih dari satu dekade bertikai, jalan damai perlahan ditempuh

Belajar Menerjemahkan Rivalitas dari Persela Fans dan Bonek ManiaPendukung Persela saat melakukan away ke kandang Persebaya. Instagram.com/Curvaboys_1967

Bosan dengan berbagai kekerasan yang terjadi, kedua kelompok pendukung mulai menurunkan tensi. Pemandangan indah tersaji pada Agustus 2016 lalu. Jika sebelumnya Bonek selalu mendapatkan sweeping saat melintas di Lamongan, hari itu sejarah baru tercipta. 

Puluhan LA Mania dan Curva Boys (kelompok baru pendukung Persela) "mengadang" rombongan Bonek di stasiun Babat Lamongan. Mereka meneriakkan yel-yel dukungan terhadap Bonek yang akan berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan nasib Persebaya ke kantor PSSI. Tak hanya dukungan, mereka bahkan membagikan nasi bungkus gratis. 

Aksi simpatik pendukung Persela berbalas sambutan positif. Setahun berselang, pentolan Bonek, Andi Peci menjamu LA Mania dan Curva Boys yang akan melakukan away ke Madura. 

6. Perdamaian nyata akhirnya terwujud

Belajar Menerjemahkan Rivalitas dari Persela Fans dan Bonek ManiaPendukung Persela saat mendapat sambutan dari Bonek Mania di Stadion Gelora Bung Tomo. Instagram.com/Liga1match

Tak sekadar tanda tangan perjanjian, perdamaian nyata antara Bonek dan pendukung Persela akhirnya terwujud. Untuk pertama kalinya sejak kerusuhan tahun 2004, Bonek akhirnya bisa duduk nyaman di Surajaya.  

Sejarah manis itu tercipta ketika Persela menjamu Persebaya pada lanjutan Liga 1, 30 Maret 2018. Meski ditahan imbang oleh Persebaya, tak ada kerusuhan atau nyanyian rasis. Bahkan, saat akan pulang ke Surabaya, rombongan Bonek dikawal oleh fans Persela hingga ke perbatasan Lamongan-Gresik.

Pendukung Persela dan Persebaya kian mesra pada putaran kedua Liga 1 2018. Giliran LA Mania dan Curva Boys yang mendapatkan jamuan spesial dari pada 5 Agustus lalu. Sekitar 2500 fans Persela diberi kesempatan menonton di Gelora Bung Tomo untuk pertama kalinya. Warna biru muda melebur dengan hijau sore itu. Sebuah pemandangan yang tak terlihat selama dua windu terakhir. 

Laga bahkan diakhiri dengan "victory lap" Aji Santoso. Meski timnya kalah dari Persebaya, Bonek mengajak Aji berkeliling stadion. Maklum, Aji adalah legenda hidup Bajul Ijo. 

7. Cinta sampai mati bukan berarti mencintai dan membuat orang lain mati

Belajar Menerjemahkan Rivalitas dari Persela Fans dan Bonek ManiaJasad Haringga Sirila dimakamkan di Indramayu. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

Percaya atau tidak, urusan fanatisme supporter, Indonesialah juaranya. Tapi kebanggaan dan fanatisme adalah pisau bermata dua. Jika tak diimbangi kedewasaan, rusuh adalah sebuah keniscayaan. Biarlah Haringga Sirila jadi korban terakhir dalam kerusuhan sepak bola. 

Bolehlah kita berteriak cinta sampai mati kepada klub kesayangan. Tapi ingat, cinta sampai mati bukan berarti mencintai dan membuat orang lain mati.

Baca Juga: Persebaya hingga Risma Cegah Bonek Datang ke Malang

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya