Membangun Hari Depan Wanita Indonesia

Wanita Indonesia harus menulis tinta emas sejarahnya

Masih belum hilang di ingatan saat pilpres 2019, politik identitas dipakai elite partai
untuk merebut suara rakyat. Memberi label lawan dengan sebutan kampret dan kecebong
adalah bagian dari seni yang secara emosional mampu menarik simpati. Bermunculan pula pemakaian label emak-emak untuk pendukung nomer satu dan ibu bangsa untuk pendukung nomer dua. Elite partai menyadari betul jumlah populasi wanita lebih besar dari laki-laki.

Gerakan emak-emak dan gerakan ibu bangsa bisa dimaknai secara positif sebagai bagian
dari proses pendidikan politik terhadap kaum wanita. Gerakan semacam ini mestinya dipertahankan pasca pilpres sebagai wadah aspirasi dan lokomotif perjuangan. Belajar dari Bapak Joko Widodo dan bapak Prabowo Subianto yang saat ini sudah bersatu membangun bangsa dan negara, inilah saatnya emak-emak dan ibu bangsa bersatu, berangkulan, merapatkan barisan, menyusun banyak pekerjaan bangsa yang berkaitan dengan nasib wanita Indonesia.

Kisah Manis di Panggung Sejarah 

Pilpres 2019 merupakan titik peluang yang bisa dijadikan permulaan awal wanita
Indonesia untuk sadar bangsa dan negara ini bisa ‘ambruk’ tanpa pemikiran dan kerja optimal dari kaum wanita. Saling ejek, saling ‘nyinyir’, saling hujat saat pilpres harus segera ditinggalkan, saatnya berdiri sama tinggi dengan para lelaki dalam membangun peradaban Indonesia. Jangan biarkan wanita Indonesia hanya dijadikan komoditas politik, hanya jadi ‘pasar’ perebutan suara hajatan politik saja oleh kaum laki-laki.

Tiga ratus lima puluh juta tahun dijajah menempatkan Indonesia sebagai negara yang punya banyak tokoh Pahlawan, tak terkecuali pahlawan dengan jenis kelamin wanita. Raden Ajeng Kartini terkenal sebagai pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita. Selain kartini, Indonesia memiliki banyak nama ‘beken’ tercatat oleh pena sejarah. Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Nyie Ageng Serang, Raden Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis dan sebagainya.

Pada awal tahun 1900-an dua nama terakhir, Dewi sartika (Jawa barat), Maramis
(sulawesi tenggara) mendirikan sekolah gadis atau istri.

Pahlawan dari kalangan wanita ini sadar betul pentingnya emansipasi wanita dalam
merajut Indonesia merdeka. Para pahlawan ini mendirikan sekolah berbasis karakter dan
ketrampilan untuk para gadis atau istri, sekolah ini nyatanya bisa memantik kesadaran wanita Indonesia pada jamannya sehingga bisa menjadi pendamping hebat laki-laki dalam perjuangan di lingkup keluarga dan usaha mencapai Indonesia merdeka. Keterampilan yang diajarkan di sekolah gadis atau istri seperti memasak, menjahit, menyajikan makanan, wawasan kesehatan ibu, hingga bagaimana memelihara bayi pun diajarkan.
Satu nama yang juga tidak boleh dilupakan yakni Gayatri Rajapatni. Sejarah kebesaran
majapahit dan lahirnya pemimpin hebat Raden Wijaya dan Mahapatih Gajah Mada adalah
berkat andil Gayatri Rajapatni.

Tersebut dalam kitab Negarakertagama:

“Adalah watak Rajapatni Gayatri yang agung, sehingga mereka menjelma pemimpin besar sedunia, yang tiada tandingannya. Putri, menantu, dan cucunya menjadi raja dan ratu. Dialah yang menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak tanduk mereka.”

Kesetaraan Gender di Indonesia

Kesetetaraan gender masih menjadi pekerjaan rumah bagi banyak negara. Menurut
data UNDP 2018, Gender Inequility Index (GII) Indonesia menduduki peringkat 104 dari 160
negara pada tahun 2017, sebagai perbandingan Tiongkok menduduki peringkat 36 dan Filipina menduduki peringkat 97. Kesetaraan gender di Indonesia tampaknya hampir menyamai peringkat sepak bola Indonesia.

Di bidang politik, sebanyak 19,8 persen wanita meraih menduduki kursi parlemen. Di bidang pendidikan, sebanyak 44,5 persen wanita Indonesia berpendidikan SMA, sementara laki-laki sebanyak 53,2 persen. Di bidang kesehatan, 126 wanita meninggal per 100.000 kelahiran hidup terkait dengan kehamilan dan persalinan. Di bidang ekonomi, partisipasi wanita di lapangan kerja hanya 50,7 persen, sementara partisipasi laki-laki di lapangan kerja sebanyak 81,8 persen.

Tantangan berat inilah yang harus disadari oleh emak-emak dan ibu bangsa bagaimana
bersama-sama menuntaskan ketimpangan gender ini dengan mengilhami semangat para
pahlawan Indonesia, Raden Ajeng Kartini dkk. Wanita Indonesia yang menduduki jabatan penting harus punya pandangan luas dan mendalam mengenai kesetaraan gender, dan bisa menawarkan solusi program-program yang sekiranya bisa meningkatkan harkat dan derajat wanita Indonesia.

Konsisten Dengan Peratuan dan Perjuangan Gender

Di hari depan, wanita Indonesia harus semakin berbenah diri, menempatkan diri sebagai
subyek yang artinya mempunyai kesempatan yang sama seperti laki-laki sebagai pemangku dan penentu atas dirinya sendiri secara badaniah. Sebagai contoh wanita Indonesia harus mendapat kesempatan mandiri dalam menentukan berapa jumlah anak yang akan dimiliki, bukan mengikuti kehendak seenak laki-laki atau mertua.

Wanita Indonesia harus keluar dari definisi masa silam yakni ruang kerja wanita sangat
sempit yakni sebatas dapur dan kasus. Definisi peran wanita harus dipatok tinggi, wanita
Indonesia harus didorong memiliki cita-cita yang sama tinggi dengan laki-laki. Wanita bisa
menjadi presiden tanpa harus ditentang, didemo, dicarikan ayat-ayat atau dogma yang
menggagalkan.

Banyak srikandi Indonesia bermunculan tampil sebagai sosok kepala daerah yang
berprestasi. Ibu Risma Wali Kota Surabaya, Ibu Faida bupati Jember, dan Ibu Khofifah Gubernur Jawa Timur merupakan contoh dari keterwakilan wanita di panggung politik Indonesia, dan mereka mampu tampil menjadi pemimpin yang tidak kalah dengan para lelaki.

Wanita Indonesia harus bersatu dan berjuang, menghindarkan diri sebatas hanya
sebagai obyek ekploitasi politik, perdagangan manusia, perbudakan, korban adat istiadat yang merugikan kaum wanita. Di beberapa daerah perifer Indonesia masih ada perbudakan dan perdagangan manusia.

Suatu hari penulis menjumpai di pedalaman papua, wanita masih dijadikan ‘barter’ perdamaian untuk menggagalkan rencana perang suku.

Wanita Indonesia harus berani berbicara dan menulis tinta emas sejarahnya.

 

Sonny Fadli

Dokter dan Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Obgyn Universitas Airlangga

Baca Juga: [OPINI] Definisi Cantik bagi Perempuan, Bisakah Berubah?

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya