Ramadan Bersama Warga Bawean di Tengah Ratusan Kali Guncangan Gempa

Senang, ngeri-ngeri sedap juga

Intinya Sih...

  • "Tak lama, kami merasakan getaran. Orang-orang berteriak 'gempa, gempa' sambil berhamburan menjauh dari bangunan"
  • Jurnalis IDN Times, Khusnul Hasanah, melakukan perjalanan 8 jam ke Pulau Bawean untuk melaporkan dampak gempa bumi, sambil menikmati pemandangan laut dan tidur di kapal
  • Di Pulau Bawean, Khusnul ikut kegiatan sahur warga yang mengungsi, termasuk melihat trauma healing dan distribusi bantuan di Posko bencana alam Kantor Kecamatan Tambak

Surabaya, IDN Times - Jam menunjukkan pukul 10.00 WIB pada Senin (25/3/2024), harusnya kapal kami, Kapal Negara (KN) SAR 249 Permadi sudah berlayar satu jam lalu melintasi perairan Laut Jawa menuju ke Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur. Tapi hingga pukul 13.00 WIB, kapal milik Basarnas itu masih bersandar di Dermaga Distrik Navigasi Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. 

Kami belum berlayar karena menunggu Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono untuk memberangkatkan kapal yang membawa ratusan bantuan sembako, logistik, puluhan relawan dan beberapa awak media ini. Sekitar pukul 13.30 WIB Pj Gubernur pun datang untuk mengecek kesiapan, kami wawancara sebentar dan selesai pukul 14.00 WIB. Kapal pun berlayar meninggalkan perairan Tanjung Perak.

Di Ramadan hari ke-15 itu, saya pergi ke Pulau Bawean untuk melaporkan dampak gempa bumi yang mengguncang perairan Laut Tuban yang terjadi sejak Jumat (22/3/2024). Tentunya, kewajiban berpuasa saya tunda dulu karena akan menempuh perjalanan jauh. Dari Tanjung Perak kami berlayar sekitar 8 jam menuju Pulau Bawean.

Tak ada hal penting yang bisa kami lakukan selama 8 jam perjalanan di kapal. Saya hanya menulis berita, menikmati pemandangan laut dan lebih banyak tidur agar tidak terlalu mual.

Kami pun tiba di Pelabuhan  Bawean Pukul 20.00 WIB. Sudah ada beberapa teman media yang menunggu kami, mereka menyiapkan penginapan untuk merebahkan punggung kami yang kaku karena seharian hanya tidur sambil duduk.

Di sepanjang jalan menuju penginapan, terasa susana Bawean malam itu begitu sejuk dan hening. Di perjalanan tempat kami menginap, di kiri dan kanan jalan terlihat warga tidur di depan teras rumahnya, berbekal kasur lipat, bantal dan selimut. Kami melihat rumah-rumah di sekitar Pelabuhan itu masih berdiri kokoh. Teman media lain bilang, di wilayah tersebut memang tidak terlalu parah. 

Malam itu, saya dan beberapa teman media lainnya istirahat sebentar. Perjalan jauh membuat kami keliyengan. Hari berganti, kami kemudian bangun pukul 03.00 WIB untuk meliput kegiatan sahur warga yang mengungsi.

Ramadan Bersama Warga Bawean di Tengah Ratusan Kali Guncangan GempaPara warga di Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik masih trauma Gempa susulan yang masih sering terjadi, mereka mendirikan tenda di depan rumah masing-masing untuk berlindung. (IDN Times/Khusnul Hasana).

Berbekal sepeda motor meminjam, kami berkendara menuju ke Desa Suwari yang masih satu kecamatan dengan tempat kami menginap. Dingin menyelimuti Pulau Bawean. Kami hanya melihat gelap dan sepi di sepanjang jalan menuju tempat pengungsian.

Tak lama, di kiri dan kanan jalan sudah mulai terlihat tenda-tenda dari terpal berdiri. Orang-orang tidur dan makan sahur di dalamnya. Motor kami berhenti di sebuah tenda besar bertuliskan BNPB. Seorang perempuan paruh baya, Masiah (50) terlihat sedang mencuci piring. Kami pun mewawancarainya. 

Masiah begitu antuasis ketika kami wawancarai. Ia menceritakan berbagai hal tentang keluh kesahnya harus menjalani Ramadan di tengah ratusan guncangan. Dia tetap semangat memasak, sahur hingga buka puasa di tenda. Mesikpun terkadang getaran gempa membuatnya trauma,sebab huniannya telah rusak karena benca alam itu.

Tak berapa lama kami beranjak dari tenda Masiah, kami merasakan getaran. Orang-orang berteriak “gempa, gempa” sambil berhamburan menjauh dari bangunan. Mereka yang berada di dalam tenda pun ikut beranjak.

Saat itu saya bertemu dengan Nurlaila (62), ia ikut lari berhamburan ke jalanan setelah merasakan getaran. Makan sahurnya terusik karena nyaris satu jam sekali dia merasakan gempa bumi. Gempa juga membuatnya trauma karena rumah yang ia tinggali sudah roboh.

Seperti halnya Masiah, dia juga tinggal di tenda bersama keluarga, saudara, kerabat hingga tetangga-tetangganya. Dia bergelut dengan dinginnya malam dan rasa trauma yang tak kunjung padam.

Tak berapa lama suasana telah kondusif, suara mengaji di masjid pun mulai bergemah, menandakan bahwa azan subuh akan berkumandang. Saya pun pamit kepada Nurlaila, sembari mendoakan agar ia dan warga Bawean baik-baik saja. Saya menjabat tangannya dan Nurlaila pun tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih. Kami kembali ke penginapan dan istiharat sebentar.

Ramadan Bersama Warga Bawean di Tengah Ratusan Kali Guncangan GempaRumah rusak di Pulau Bawean. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Pagi harinya, kami harus beranjak meninggalkan penginapan menuju ke Kecamatan lain di ujung pulau ini, Kecamatan Tambak. Ada istri Camat atau Bu Camat yang baru berkenalan dengan kami di kapal Basarnas akan memfasiliitasi kami liputan di sana. Di kecamatan itu juga akan ada pemberian trauma healing kepada anak-anak dan orang dewasa yang belum berani tidur di dalam rumah, padahal rumah mereka baik-baik saja.

Sepanjang perjalanan menuju ke Kecamatan Tambak, kami dibuat takjub dengan alam Palau Bawean yang memukau. Di sepanjang kiri jalan terbentang Laut Jawa yang menawan dan kanan jalan terhampar sawah hijau dengan backgorund perbukitan.

Rasa takjub itu berubah tatkala kami melewati rumah-rumah warga yang hancur karena gempa. Sedih tak terbendung rasanya. Kami pun berhenti untuk sesekali mengambil gambar rumah warga yang rusak sebagai bahan liputan kami. 

Setelah kegiatan itu selesai, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Kecamatan Tambak yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari tempat kami menginap. Kami harus melewati perbukitan, hingga jalan aspal yang lumayan menanjak dan menurun.

Kami telah ditunggu oleh Bu Camat, ia mengajak kami untuk meliput kegiatan pemberian trauma healing dari tim Tagana kepada warga Kecamatan Tambak. Tagana memberikan trauma healing di sebuah sekolah dan di pemukiman tepi pantai. Aku berkesempatan meliput keduanya.

Ketika tim Tagana datang membawa sejumlah mainan dan hadiah kepada anak-anak, wajah mereka sumringah. Apalagi ketika berbagai permainan digelar, tak terlihat wajah takut menyelimuti mereka. Mereka begitu ceriah sekali mengikuti alur permainan dari tagana.

Sementara, tim Tagana lain tengah menggelar pengajian bersama ibu--ibu di sana. Sambil pengajian, tim Tagana memberikan trauma healing kepada mereka. Dengan harapan agar mereka tak lagi takut dengan guncangan dan kembali tidur di dalam rumah.

Selain meliput kegiatan trauma healing, kami juga meliput kegiatan di dapur umum Posko bencana alam Kantor Kecamatan Tambak. Di Posko tersebut, berbagai unsur mulai TNI, Polri, relawan berkumpul. Mereka memasak di dapur umum yang akan dibagikan kepada warga menjelang buka puasa. Di Posko itu juga, berbagai bantuan mulai berdatangan.

Lewat posko itu, relawan-relawan akan menyalurkan makanan, bantuan logistik berupa tenda hingga selimut ke rumah-rumah warga yang terdampak. 

Hari pun mulai petang. Saya dan teman-teman media lain memutuskan untuk kembali ke Kecamatan Sangkapura dan menginap di sana. Sebab, kapal yang membawa kami kembali ke Pulau Jawa akan berangkat pukul 09.00 pagi. Kami tak mau ketinggalan. 

Pagi harinya, kapal kami Bahari Express tiba lebih cepat di Pelabuhan Bawean. Kami pun harus bergegas berlarian menuju pelabuhan. Beruntungnya, awak kapal menunggu kami, kami pun legah. Kapal berlayar meninggalkan Pulau Bawean. Tugas kami meliputi kejadian bencana di pulau ini tuntas. 

Topik:

  • Yogie Fadila
  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya