[OPINI] Hadiah Baru Hari Kartini, Pengesahan RUU PKS

Setelah terjadi tarik ulur selama 10 tahun

Sejak tahun 1981, para aktivis hak-hak perempuan telah menyerukan kampanye untuk melawan kekerasan berbasis gender Indonesia melalui undang-undang. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksuak (RUU PKS) diinisiasi Komnas Perempuan sejak 2012 menyusul kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Para aktivis dan Non-Government Organization (NGO) banyak bergerak di dalamnya membantu korban pencari keadilan. Kurang lebih empat tahun lamanya, Komnas Perempuan membujuk DPR agar membuat payung hukum soal kekerasan seksual.

Angin segar mulai tampak sekitar Mei 2016. Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik payung hukum tersebut. Yang terjadi selanjutnya adalah tarik ulur yang panjang karena sempat terjadi pencabutan RUU itu dari Prolegnas Prioritas Tahun 2020 oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI.

Di sisi lain, kasus kekerasan seksual terus bermunculan. Padahal, kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak-hak perempuan sebagai manusia. Bentuk kekerasan terhadap perempuanpun  terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, mulai dari kekerasan offline yang membutuhkan kontak fisik hingga kekerasan online melalui media virtual.

Tentu saja, penegakan hak asasi perempuan harus sesuai dengan kewajiban Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang tidak mengizinkan diskriminasi terhadap kelompok orang tertentu. Untuk itu, masyarakat pun  mendorong pemerintah untuk memberlakukan undang-undang yang berlaku luas untuk menghapuskan berbagai jenis kekerasan. Oleh karena itu pengesahan UU PKS di bulan April yang merupakan bulan kelahiran Kartini ini merupakan momen penting untuk meredam maraknya kekerasan terhadap perempuan.

RUU PKS ini sendiri telah berulang kali dimasukkan dalam program legislatif nasional. Namun, sebelum rancangan itu diketok menjadi undang-undang nyaris tak ada regulasi valid untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual. 

RUU PKS harus dapat melengkapi perundang-undangan yang ada tentang kekerasan seksual dan menjadi Lex spesialis yang ditugaskan untuk menangani kasus- kasus kekerasan seksual. Peraturan sebelumnya, seperti KUHP, tidak secara tegas mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual.

KUHP menetapkan bahwa tindak pidana pemerkosaan di pasal 285 dan pasal 288 dianggap tidak terlindungi bagi korban kekerasan seksual. Mari simak Bersama Pasal 4 ayat (1) Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi: a. Pencegahan; b. Penanganan; c. perlindungan; d. pemulihan Korban; dan e. penindakan pelaku.

Dalam BAB V Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 11 ayat (2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. pelecehan seksual; b. eksploitasi seksual; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan aborsi; e. perkosaan; f. pemaksaan perkawinan; g. pemaksaan pelacuran; h. perbudakan seksual; dan/atau i. penyiksaan seksual.

Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu
tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan
relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan
atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau politik termasuk dalam Kekerasan seksual.

Pemaksaan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima tahun) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian. Pasal 91
ayat (1) Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual non-fisik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a yang mengakibatkan seseorang merasa
terhina, direndahkan atau dipermalukan dipidana rehabilitasi khusus paling lama 1
(satu) bulan. Ini yang harus menjadi perhatian khusus karena dewasa ini kebebasan
bersosial media menjadi lepas kendali dan jarang diperhatikan. Oleh karena itu jangan
sampai jari tangan mendahului otak. So, mari bijak dalam bersosial media dan
menghargai privasi orang lain.

 

 

Selvia Wisuda, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang

Baca Juga: RUU PKS Memihak Korban Pelecehan Seksual, Tapi Tak Kunjung Disahkan

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya