Tara Basro, Antara Kesusilaan dan Pornografi

Ada inkonsistensi sikap dari Kominfo atas unggahan Tara Basro di Instagramnya. Humas Kominfo, Ferdinand Setu mengatakan foto Tara Basro berpotensi melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE tentang kesusilaan di internet, sebelum beberapa hari kemudian Menteri Johnny G Plate menyampaikan bahwa tidak ada pelanggaran dalam foto sang aktris tersebut. Masalah perbedaan sikap di internal kementerian tersebut tak hanya jadi masalah miskomunikasi terhadap sebuah fenomena, namun hal tersebut juga mengindikasikan betapa kaburnya definisi pornografi.
Pernyataan Humas Kominfo bahwa unggahan Tara Basro disebut “menafsirkan ketelanjangan” sebetulnya tidak tepat. Tara Basro dalam foto tersebut memang telanjang, dengan tetap menutup bagian pribadi tubuhnya dengan tangan. Namun, yang luput dilihat oleh Kominfo adalah alasan Tara Basro tidak mengenakan baju, yakni mengkampanyekan sikap positif atas tubuh kita sendiri. Kalau yang dimaksud pornografi pada foto tersebut adalah merujuk pada eksploitasi seksual, di saat fotonya tidak merefleksikan itu sedikit pun, tentu masalah ada pada yang menafsirkan, bukan yang mengunggah.
Kekhawatiran pemerintah atas penyebaran pornografi yang kian masif memang wajar, terutama dengan keberadaan internet. Bahaya pornografi secara digital memang sangat mungkin menjangkau anak-anak. Polri mencatat, setidaknya sampai pertengahan 2019 terdapat 236 pengaduan kasus pornografi, termasuk pornografi anak. Namun, tidak berarti tingginya paparan pornografi dilawan dengan pandangan bahwa semua ketelanjangan adalah eksploitasi seksual. Ada konteks yang melekat pada sebuah materi ketelanjangan dan ada ruang yang secara spesifik ditujukan oleh penyebaran materi ketelanjangan. Melihat Negara masih memandang satu sisi pada eksploitasi seksual semata, kita patut sangsi bahwa edukasi seks akan menjadi sesuatu yang atau lazim diajarkan di ruang-ruang publik.
Pornografi atau Kesusilaan ?