Perlindungan Kebebasan Akademik adalah Jaminan Demokrasi Indonesia

Indonesia masih harus berjuang untuk perlindungan kebebasan sipil. Sebuah survei pada tahun 2019 dari Freedom House, organisasi pengkaji isu kebebasan dan demokrasi, memberikan nilai 62 dari 100 untuk tingkat kebebasan di Indonesia. Pelaksanaan Pemilu dinilai berhasil menjamin hak-hak politik warga negaranya. Namun, tantangan besar masih dihadapi dalam hal jaminan kebebasan berekspresi.
Represi kebebasan berekspresi sayangnya masih jamak di Indonesia. Bahkan, praktik tersebut juga terjadi di lingkungan kampus. Bentuk represinya beragam mulai dari pelarangan, intimidasi, pembubaran diskusi dan tuduhan makar. Pada kasus terakhir, Saiful Mahdi, seorang dosen justru divonis bersalah oleh Pengadilan Banda Aceh atas pencemaran nama baik. Padahal, yang dilakukan Saiful adalah kritik terhadap kinerja pimpinan di Universitas Syiah Kuala tempatnya bekerja, kritiknya pun merupakan bagian dari kebebasan akademik.
Diskursus kebebasan berekspresi memang tak bisa lepas dari kebebasan akademik, walaupun dimensi kebebasannya berbeda. Kebebasan akademik pun tidak mutlak tanpa batasan. Eric Barendt dalam Academic Freedom and Law: A Comparative Study (2010) menyatakan bahwa batasan tersebut bertujuan sebagai kontrol kualitas, yang umumnya berbentuk penelaahan sejawat. Sementara di luar kampus, batasannya adalah ketertiban umum.
Sebuah pendapat sivitas akademika patut dilihat sebagai sebuah pandangan yang diolah atas dasar kualitas keilmuannya. Oleh karena itu, kampus punya kewajiban melindungi ruang berpendapat sivitas akademika, agar kualitas pendapat yang muncul juga bisa berkontribusi pada pencarian kebenaran ilmiah.