Ospek dengan Tensi dan Bentakan, Dosa Besar Senior Unesa

Baru-baru ini nama kampus saya, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menjadi pembiacaraan khalayak ramai. Bukan karena prestasi, melainkan karena sebuah video ospek yang viral. Video itu menunjukkan para senior memarahi mahasiswa baru (maba) lantaran tidak memakai sabuk sebagai salah satu perlengkapan segaram ospek. Para warganet pun geram lantaran menilai panitia ospek tersebut senioritas, gila hormat, kasar, dan lain sebagainya.
Sebenarnya saya sudah melihat video tersebut sejak hitungan menit diunggah. Tapi saya tidak ambil pusing karena merasa itu adalah hal biasa. Saya masih mengira banyak kampus di luar sana masih menggunakan metode tersebut. Saya juga malas mendengar bentakan-bentakan para komite disiplin (Komdis) yang tak mengenakkan hati. Tapi, ternyata dunia maya berkata lain, video itu heboh hingga menuai jutaan respons dari warganet.
1. Ospek dengan metode Komdis sudah lama terjadi di Unesa
Video itu mengingatkan saya pada tahun 2016 silam. Itu adalah tahun ketiga saya berada di Unesa. Sejak tahun kedua, saya sudah menjadi panitia ospek atau yang disebut Perkenalan Kehidupan Kampus untuk Mahasiswa Baru (PKKMB). Pada 2015 saya menjadi Sie Acara ospek fakultas dan ospek jurusan. Sementara setahun berikutnya, saya sudah agak senior dan naik tingkat menjadi Steering Committee (SC) yang bertugas untuk mengonsep segala jalannya ospek di jurusan. Oleh karena itu, kurang lebih saya paham mengenai kekomdis-komdisan itu.
Metode bentakan itu biasa kami sebut dengan tensi. Penggunaan tensi dalam ospek sudah terjadi di jurusan saya sejak lama. Entah kapan persisnya. Saya pernah bertemu alumni tahun 2010 dan mereka sudah menerapkan metode itu. Metode itu pun terus digunakan baik di ospek fakultas yang biasanya berjalan sepekan, serta di ospek jurusan yang berjalan satu semester.
Ada dua tujuan penggunaan tensi yang saat ini baru saya sadari bertolak belakang. Tujuan pertama adalah jelas, pemberian hukuman atau verbal punishment. Komdis bertugas sebagai penegak kedisiplinan. Jika mereka menemukan maba yang melakukan kesalahan, maka mereka akan menghukum maba tersebut. Uniknya, sering kali jenis hukuman akan diserahkan ke sesama maba. Namun, yang pasti proses hukuman itu tetap terjadi dengan bentakan sana-sini.
Sebagai contoh, "Ini temanmu ada yang terlambat. Dikasih hukuman apa enaknya?" dengan nada tinggi dan amat judes.
Apa Komdis harus marah-marah? Iya! Mereka berdalih sebagai tegas, bukan marah. Tapi menurutku sama saja. Pernah saat aku maba ada kejadian lucu, teman-temanku sedang berjalan memasuki lokasi ospek namun Komdis memarahi "Jalannya dipercepat, dik!". Sontak teman-temanku pun jalan cepat. Tapi kemudian Komdis mengatakan "Jangan lari!". Kami pun bingung harus bagaimana.
Tujuan kedua adalah untuk memberikan manajemen konflik. Sekali dua kali Komdis akan mengada-ada atau mencari-cari kesalahan para maba. Kemudian mereka akan marah-marah meledak-ledak. Harapannya, maba akan sadar bahwa mereka tidak salah dan berani untuk mengungkapkan pendapat meski berada di bawah tekanan.
Menurut saya, tujuan kedua lah yang sedang digunakan dalam cuplikan video viral tersebut. Pasalnya, sang Komdis memarahi maba habis-habisan karena tidak memakai ikat pinggang. Padahal, pada peraturan atribut yang diunggah resmi di akun Instagram @pkkmbfipunesa, maba perempuan berjilbab tidak perlu mengenakan ikat pinggang saat berseragam batik. Para Komdis pun memancing dengan memarahi maba tersebut habis-habisan agar dia berani untuk memebela diri.