Ospek FIP Unesa yang viral di Twitter. Screenshoot Twitter/com/rafirizqu19
Dulu, saya amat bangga bisa terlibat dalam kehidupan ospek selama 3 tahun. Saya merasa berjasa membentuk karakter adik-adik angkatan melalui ospek. Saya merasa mengenalkan kehidupan kampus dan kehidupan nyata kepada mereka dengan baik. Saya merasa menyelamatkan mereka dari mental tempe. Tapi nyatanya? Semua itu omong kosong.
Beberapa tahun setelah tidak terlibat ospek, saya baru sadar. Sebenarnya sistem yang selama ini dilakukan tidak benar. Saya sudah sempat memperingatkan adik angkatan, namun gagal. Mereka malah menilai saya membangkang dari konsep yang seharusnya ada.
Ada beberapa hal yang baru saya sadari ketika sudah keluar dari dunia ospek. Yang pertama, permainan tensi Komdis dengan dalih pelatihan mental adalah bualan belaka, Hal tersebut tidak lebih baik daripada kekerasan verbal. Bayangkan, anak yang terlambat, tidak memakai atribut dengan lengkap, atau berani mengutarakan pendapat, malah dibentak-bentak di hadapan ribuan orang. Jangankan Maba, saya sudah setua ini kalau diperlakukan demikian tentu sakit hati. Hasilnya, trauma menggores hati baik disadari maupun tidak.
Kedua, manfaat-manfaat yang ditawarkan dari konsep tensi tersebut benar-benar palsu. Entah siapa yang pertama kali mengajarkan hal itu sampai kami jadi terbual. Alih-alih mendapat masalah seperti bentakan, tugas menumpuk dalam sehari, atau menolong teman dari ancaman senior dengan alasan solidaritas, saya malah medapatkan masalah seperti penyusunan artikel atau makalah, membuat koneksi dengan orang dalam maupun luar kampus, public speaking, dan mencari kesempatan prestasi seperti lomba atau pertukaran pelajar.
Hasilnya, meski saya sudah pernah menjadi peserta dan panitia ospek berkali-kali, saya tidak benar-benar bisa merasakan manfaat dari verbal punishment itu. Jika merasa tertekan, saya tidak bisa benar-benar menyuarakan pendapat. Saya malah kesulitan mengatasi anxiety dan insecurity. Teman-teman lain yang juga pernah menjadi Komdis pun tak sepenuhnya bisa mengaplikasikan ajaran mereka terdahulu.
Selain itu, sebenarnya konsep Komdis ini malah mengajarkan kita untuk memiliki sifat manipulatif. Bagaimana tidak, para maba diminta memaafkan Komdis yang telah melakukan kekerasan verbal terhadap mereka. Alasannya adalah selama ini mereka melakukan demi kebaikan maba tersebut tanpa persetujuan darinya. Tindakan ini menurut saya cukup manipulatif dan tidak baik diterapkan di kehidupan sehari-hari. Apapun alasannya, kekerasan tetap tidak bisa dibenarkan.