Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gubes Sosiologi Unair, Prof Bagong Suyanto. Dok. Humas Unair.
Gubes Sosiologi Unair, Prof Bagong Suyanto. Dok. Humas Unair.

Intinya sih...

  • Prof Bagong Suyanto menegaskan bahwa santri seharusnya tidak dilibatkan dalam kegiatan fisik seperti ngecor karena bukan bagian dari pendidikan.

  • Pelibatan santri di bawah umur dalam kegiatan ngecor pondok pesantren harus dilihat secara detail, apakah ada motif ekonomi di dalamnya.

  • Hukuman bagi santri tidak boleh dilakukan dengan cara meminta santri ikut ngecor, dan jika ngecor dilakukan sebagai bentuk gotong royong, harus dilakukan bersama tanpa relasi asimetris.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Surabaya, IDN Times - Sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Prof Bagong Suyanto buka suara soal tradisi santri ikut ngecor dalam pembangunan pondok pesantren. Santri yang sedang menimba ilmu itu tak seharunya dilibatkan dalam kegiatan fisik.

Kegiatan ngecor dilakukan oleh santri salah satunya dilakukan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo. Pondok tersebut kemudian ambruk pada Senin (29/9/2025) saat sedang ada aktivitas pengecoran atap di lantai tiga.

Prof Bagong mengatakan, anak yang sedang menimba ilmu, termasuk di pondok pesantren tak seharunya dibebankan dengan pekerjaan fisik. Sebab, hal tersebut bukan bagian dari pendidikan.

"Anak yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren semestinya tidak dibebani dengan pekerjaan yang sifatnya fisik. Kalau alasannya untuk Pendidikan, masih ada banyak cara lain untuk mendidik anak," ujarnya kepada IDN Times, Rabu (8/10/2025).

Menurutnya, pelibatan santri di bawah umur dalam kegiatan ngecor pondok pesantren harus dilihat secara detail, apakah ada motif ekonomi di dalamnya, semisal untuk menghemat biaya pembangunan sehingga pihak pondok melibatkan santri.

"Jika motifnya ekonomi, jelas hal itu dilarang. Selain itu perlu pula dilihat berapa lama anak dilihatkan dalam kegiatan ngecor dan apakah anak dipaksa atau tidak," ungkap dia.

Sebagain pihak menyebut bahwa tradisi ngecor dilakukan sebagai bentuk hukuman bagi santri yang melanggar aturan. Walau begitu, menurut Prof Bagong, hukuman bagi santri tidak boleh dilakukan dengan cara meminta santri ikut ngecor.

"Kalau sebagai hukuman tentu tidak boleh. Ada banyak cara untuk mendidik anak, dan seyogianya tidak yang sifatnya hukuman fisik," terangnya.

Ada pula beberapa pihak yang menyebut tradisi ngecor sebagai bentuk gotong royong santri membangun pondok pesantren. Menurut Prof Bagong, jika ngecor dilakukan sebagai bentuk gotong royong, tidak boleh ada salah satu pihak memiliki kuasa atau kontrol maupun pengaruh yang lebih besar daripada pihak lainnya, yang dalam hal ini dikenal sebagai relasi asimetris

"Kalau diklaim sebagai bentuk gotong royong boleh saja. Tetapi apakah dalam praktik hal itu dilakukan dalam suasana yang penuh kegembiraan atau terpaksa, gotong royong ya harus dilakukan bersama. Tidak boleh ada relasi asimetris," jelas dia.

Meski demikian, Prof Bagong belum bisa menanggapi apakah tradisi tersebut harus dihentikan atau tidak. Sebab, motivasi pelibatan santri ngecor harus dipastikan terlebih dahulu.

"Tidak harus dihentikan. Tapi motivasinya yang harus dipastikan sama kiainya," pungkas Prof Bagong.

Editorial Team