Tambang Batubara Ilegal dari IKN ke Surabaya

- Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri mengungkap kasus tambang batubara ilegal di IKN dan Tahura Bukit Soeharto, Kalimantan Timur.
- Kasus ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp5,7 triliun dan telah menangkap tiga orang tersangka dengan peran yang berbeda-beda.
- Modus operandi para pelaku adalah membeli batubara dari penambangan ilegal, dikumpulkan dalam stockroom, dikemas menggunakan karung, dan dimasukkan ke dalam kontainer dengan dokumen resmi.
Surabaya, IDN Times - Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri mengungkap kasus tambang batubara ilegal di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebagian hasil tambang ini dilarikan lewat Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Kasus ini pun. mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp5,7 triliun.
Dalam kasus ini, Bareskrim Polri telah menangkap tiga orang tersangka, yaitu YH, CH, dan MH. Mereka memiliki peran yang berbeda-beda dalam kasus ini. YH dan CH diduga menjual batubara yang berasal dari penambangan tanpa izin, sementara MH berperan membeli dan menjual batubara hasil penambangan ilegal.
"Diketahui, asal-usul batubara tersebut berasal dari kegiatan penambangan ilegal di Kawasan Hutan Taman Raya Soeharto, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, juga wilayah IKN,” ujar
Direktur Tipidter Bareskrim Polri Brigjen Pol Nunung Syaifuddin saat rilis kasus di Surabaya, Kamis (17/7/2025).
Modus operandi para pelaku, lanjut Nunung, dengan membeli batubara dari hasil kegiatan penambangan ilegal di kawasan konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Batubara tersebut kemudian dikumpulkan dalam stockroom, dikemas menggunakan karung, dan dimasukkan ke dalam kontainer.
Kontainer batubara tersebut kemudian dilengkapi dengan dokumen resmi dari perusahaan pemegang Izin Usaha produksi (IUP), sehingga seolah-olah batubara berasal dari penambangan resmi.
"Setelah berada di terminal, kontainer batubara dilengkapi dokumen resmi dari perusahaan pemegang izin usaha produksi (IUP), seolah-olah batubara berasal dari penambangan resmi/pemegang IUP,” ucapnya.
Lebih lanjut, Nunung menyebut, kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp5,7 triliun. Jumlah ini dihitung dari deplesi batubara dan kerusakan hutan. Kerugian ini berpotensi bertambah seiring dengan perkembangan kasus. Karena diketahui juga, aktivitas tambang ilegal berlangsung sejak 2016-2025.
Dalam kasus ini, polisi memeriksa 18 orang saksi. Mulai dari KSOP Kelas I Balikpapan, Operasional Pelabuhan PT Kaltim Kariangau Terminal Balikpapan, tiga agen pelayaran, perusahaan-perusahaan pemilik IUP OP & IPP, saksi-saksi penambang, perusahaan jasa transportasi dan ahli dari Kementerian ESDM.
Di lokasi, penyidik setidaknya menemukan 351 kontainer berisi batubara dalam karung, dengan rincian 248 kontainer telah disita di Depo Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan 103 kontainer masih dalam proses pemeriksaan dokumen di Pelabuhan KKT Balikpapan.
“Kami juga menyita 11 unit truk trailer, 7 unit alat berat, terdiri dari 2 unit telah disita, dan 5 unit diamankan di lokasi kawasan hutan dan selanjutnya akan dilakukan penyitaan,” ucapnya.
Polisi juga menyita beberapa dokumen, berupa Surat Keterangan Asal Barang, Surat Keterangan Kebenaran Dokumen, Laporan Hasil Verifikasi, Surat Pernyataan Kualitas Barang, Surat Keterangan Pengiriman Barang, Shipping Instruction, dokumen IUP OP, dan dokumen Izin Pengangkutan & Penjualan.
Tersangka YH, CH, dan MH dijerat dengan Pasal 161 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Polisi juga masih memburu pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus ini.
"Bareskrim Polri akan terus mengembangkan kasus ini dan memburu pihak-pihak lain yang terlibat," tegas Nunung. Polisi juga akan menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengingat kegiatan penambangan ilegal ini telah berlangsung lama dan menjadi atensi pemerintah.