Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Anggota LVRI Kabupaten Malang, Soetarjo. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)
Anggota LVRI Kabupaten Malang, Soetarjo. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Malang, IDN Times - Meskipun Indonesia tercatat telah merdeka sejak 17 Agustus 1945, nyatanya perang masih berkecamuk di Indonesia karena Belanda ingin menguasai Indonesia kembali. Hal ini menyebabkan terjadinya Agresi Militer Belanda 1 tanggal 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947 dan Agresi Militer Belanda 2 tanggal 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949. Salah satu pejuang yang ikut berperan waktu itu adalah Soetarjo, pria 99 tahun asal Kota Solo. Ia saat ini tinggal di Desa Mulyoangung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.

1. Soetarjo ikut berperang karena sang kakak gugur dalam perang di Semarang

Anggota LVRI Kabupaten Malang, Soetarjo. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Soetarjo menceritakan jika ia merupakan anak ketiga dari 6 bersaudara, kakak pertama dan keduanya merupakan pejuang gerilya. Tapi, kakak keduanya gugur dalam perang di Semarang tahun 1947. Hal itu membuat ia terpacu untuk ikut berjuang melawan Belanda.

"Awalnya tahun 1945 saya pendidikan sebagai Calon Prajurit Keraton Solo. Tapi saat 1947 kakak kedua saya meninggal, jadi saya keluar dadi Calon Prajurit Keraton Solo dan ikut pasukan gerilya. Kebetulan kemudian ditempatkan di Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri," terangnya saat ditemui pada Senin (19/8/2024) di kediamannya.

Soetarjo mengenang jika kakaknya itu orang yang tidak kenal rasa takut. Kakak kedua bernama Soedijono ini memiliki punya semboyan 'Berani Membunuh, Berani Dibunuh.' Kini Soedijono dimakamkan di TMP (Taman Makam Pahlawan) Solo Nomor 25B.

2. Soetarjo berjuang sebagai gerilyawan dengan senjata seadanya

Anggota LVRI Kabupaten Malang, Soetarjo. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Soetarjo mengungkapkan jika pertama kali berdinas tahun 1947 di Pemerintahan Militer Kecamatan (sekarang Koramil). Ia mendapat penempatan di daerah Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri dari 1947 sampai 1949. Ia mengaku selalu kekurangan senjata. Menurutnya persenjataan lengkap hanya di kota-kota besar, sementara yang di daerah menggunakan alat seadanya.

"Saya dulu itu pegang senapan Bomen, dulu itu digunakan buat berburu babi hutan. Lucunya senjatanya ada tapi pelurunya gak ada, jadi disiasati dengan menggunakan uang 1 sen Belanda, tapi ya ditembakkan 10 meter hilang pelurunya," bebernya.

"Ada juga pistol yang dibawa komandan cuma 1, Bomen ada 10, senapan Jepang 1, kemudian geranat nanas buatan Jepang. Geranat nanas ini dulu dijadikan caranya dengan diikatkan sama bekas wadah cat kemudian dilempar-lempar," sambungnya.

Soetarjo mengatakan ikut perang 2 kali saat Agresi Militer Belanda 1 dan 2 di Solo, tapi ia dan kawan-kawan hanya mampu melakukan perang gerilya. Pasalnya mereka kekurangan jumlah pasukan dan senjata, jika dipaksa perang terbuka sudah pasti mereka akan digilas tank dan panzer milik musuh.

"Sebenarnya yang di Solo ini Belandanya beda, kalau di Surabaya itu benderanya merah putih biru. Tapi kalau di Solo itu bendera Inggris, orangnya kecil-kecil gak seperti orang Belanda yang besar-besar," ungkapnya.

Soetarjo mengenang jika selama bergerilya, mereka mengincar persediaan militer milik musuh. Mereka juga akan menculik pasukan patroli musuh untuk mendapatkan informasi.

"Di tengah-tengah gencatan senjata perjanjian Renville 1948 itu sempat ada kejadian PKI Musso. Tapi tentara Belanda itu masih ada di Solo, Semarang, sampai Surabaya. Kemudian perang besar gerilya lagi yang kedua sampai gencatan senjata lagi karena perjanjian meja bundar tahun 1949," ujarnya.

Soetarjo akhirnya benar-benar bisa merasakan kemerdekaan usai Agresi Militer Belanda 2 berakhir pada 5 Januari 1949. Belanda akhirnya menarik pasukannya setelah mendapat kecaman dunia.

3. Pesan Soetarjo untuk generasi muda

Anggota LVRI Kabupaten Malang, Soetarjo. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Lebih lanjut, Soetarjo mengatakan jika perjuangan Indonesia saat ini sudah berbeda, bukan lagi melalui perang. Perjuangan generasi muda Indonesia saat inu adalah melawan kemiskinan dan kebodohan. Jadi ia berharap generasi muda sekarang belajar giat untuk memajukan Bangsa Indonesia.

"Anak pejuang bukan anaknya veteran, semua anak muda itu kita anggap anak pejuang semua. Perjuangan dulu macam-macam, tidak hanya memegang senjata, tapi petani hingga pedagang juga pejuang, kalau tidak ada nasi tidak akan kuat perang," pungkasnya.

Editorial Team