Entah kelakuan MA keberapa yang membuat E mengandung. Saat diperiksa pertama kali, ternyata kehamilan E sudah memasuki usia sekitar 4 minggu. Padahal, gadis cilik itu baru 3 kali mengalami menstruasi. Ketika itu, kehamilannya memang masih belum tampak di tubuh mungil E.
Orangtua E semakin sedih melihat kondisi putri mereka. Selain usia yang masih belia, kondisi ekonomi keluarga yang kurang dari cukup membuat kehamilan E menjadi semakin berat. Belum lagi, masa depan E yang entah jadi apa jika dia memiliki anak di usia dini. Tak ada jaminan pula batin E akan sembuh dari trauma kalau terus menerus merawat bayi hasil pemerkosaan itu.
“Orangtua korban datang ke kami. Sudah konseling berkali-kali mengenai konsekuensi aborsi. Tapi sampai akhir, orangtuanya berkeyakinan bahwa anakku itu butuh sehat secara mental, secara lingkungan, dan lain-lain. Sehingga kepentingan terbaik anak harus mendapat layanan itu,” sebut Ana.
Mereka pun bersama-sama mencari jalan agar E mendapatkan layanan aborsi secara legal. Ana berpedoman pada Pasal 75 (2) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan atau UU Kesehatan. Dalam pasal tersebut, jelas bahwa aborsi akibat hasil pemerkosaan adalah tindakan legal.
Ana mengaku bahwa mengawal upaya aborsi dari korban pemerkosaan adalah hal baru di Jombang. Ia pun meminta bantuan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Timur untuk mengawal kasus ini. Kemudian, mereka mengalami sejumlah kendala.
Pertama, Ana merasa bahwa tidak ada kejelasan prosedur untuk mengajukan aborsi aman dan legal bagi korban perkosaan. Salah satu landasan yang digunakan untuk melaksanakan aborsi legal ini adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Sayangnya, dalam PP itu tak ada petunjuk teknis bagaimana langkah pengajuan aborsi legal.
“Kementerian Kesehatan belum punya pedoman teknis terkait aborsi korban perkosaan. Sistem hukum kita masih gagap untuk menjelaskan bagaimana teknisnya sehingga secara sistem bagi anak-anak yang mengalami perkosaan karena bujuk rayu dan terpedaya itu tidak didukung oleh sistem untuk mendapat akses layanan aborsi,” keluh Ana.
Kedua, Ana sempat diminta untuk melampirkan surat rekomendasi aborsi dari Polres Jombang. Dalam surat itu, harus dinyatakan bahwa E adalah benar-benar korban pemerkosaan. Namun, yang dipertanyakan Ana, apakah Polres memang berwenang untuk mengeluarkan keputusan mengenai kelayakan korban mendapatkan aborsi atau tidak.
Keraguan Ana pun terjawab. Pihak Polres memutuskan untuk keberatan jika harus mengeluarkan rekomendasi E agar bisa mendapatkan aborsi legal. Berbagai alasan dipakai terutama mengenai keselamatan dari E.
“Katanya gak serta merta menyetujui, harus ada pertimbangan medis, harus ada ahli yang mau angkat bicara dengan kondisi korban dan sebagainya,” ungkapnya.
Padahal, awalnya, surat keterangan dari kepolisian ini mereka butuhkan agar E bisa diproses pada pemeriksaan medis. Tapi, kepolisian juga butuh surat rekomendasi medis. Ana bingung melihat birokrasi yang carut marut ini. Selain tidak adanya petunjuk teknis, belum ada pula daftar layanan kesehatan yang ditunjuk pemerintah agar bisa memberikan fasilitas aborsi legal.
Setelah menunggu berminggu-minggu, Ana baru mendapatkan informasi bahwa RSUD dr Soetomo menerima layanan ini. Namun, usaha mereka sudah terlambat. Kehamilan E terlanjur besar dan sudah tidak diperbolehkan untuk aborsi.
“Korban tidak bisa diaborsi karena sudah ada detak jantung dan lain sebagainya. Ini yang disayangkan oleh orangtuanya,” sebut Ana. Menurut PP Kesehatan Reproduksi, batas kehamilan yang boleh diaborsi adalah kurang dari 40 hari sejak haid terakhir.