Kisah kematian Marsinah berawal dari adanya instruksi Gubernur Jawa Timur dalam surat edaran No.50/Th. 1992. Isinya adalah himbauan kepada pengusaha untuk menaikkan kesejahteraan karyawan dengan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. PT CPS, tempat Marsinah bekerja tidak mengindahkan himbauan tersebut.
Marsinah bersama para buruh lainnya melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah dan perbaikan standar kerja, seperti cuti hamil, upah lembur, asuransi kesehatan, tidak mendapat intimidasi kerja dan sebagainya. Upaya para buruh ditentang keras perusahaan, bahkan represi mulai dilakukan Kodim setempat.
Upaya para buruh membuahkan hasil, perusahaan bersedia menerima tuntutan kenaikan upah dan berjanji akan meninjau tuntutan lain. Namun kesepakatan tersebut ternyata bukan akhir bahagia, 13 buruh dipanggil ke Kodim. Beberapa orang dipukul dan diancam untuk keluar dari perusahaan.
Marsinah yang sebenarnya tidak termasuk dalam 13 buruh ikut hadir. Melihat rekannya mendapat perlakuan buruk Marsinah mulai berupaya mencari keadilan. Surat pemanggilan Kodim dan pernyataan yang dibuat buruh disiapkan untuk perlawanan. Namun Rabu 5 Mei 1993, di malam setelah pertemuan dengan buruh lainnya, Marsinah menghilang. Tidak ada yang tahu keberadaannya, hingga tiga hari kemudian, 8 Mei mayat Marsinah ditemukan di sebuah gubuk pemantang sawah di hutan Wilangan, Nganjuk.
Beberapa bos Marsinah di pabrik tempatnya bekerja sempat divonis bersalah. Namun, belakangan vonis itu dibatalkan karena mereka tidak terbukti melakukan pembunuhan. Sejak saat itu, pelaku pembunuhan Marsinah tidak pernah benar-benar terungkap.