Setahun COVID-19 di Surabaya, Zona 'Hitam' Sampai Belum Manjurnya PPKM

Surabaya, IDN Times - Tepat satu tahun lalu, 17 Maret 2020, juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona kala itu, Achmad Yurianto mengumumkan penambahan kasus COVID-19 di Indonesia. Ternyata, enam di antaranya berasal dari spesimen Kota Surabaya. Warga Surabaya pun panik, virus corona yang kala itu amat ditakuti sudah semakin dekat.
Sudah satu tahun berlalu. Virus corona ternyata tak kunjung pergi. Kasus terkonfirmasi positif COVID-19 tetap bertambah di Kota Surabaya. Berdasarkan data terakhir, Selasa (16/3/2021), jumlah total warga Surabaya yang sudah terpapar sebanyak 22.149. Rinciannya, 20.614 sembuh, 1.337 meninggal, dan sisanya masih dirawat.
Berbagai macam suasana kelam, pergantian kebijakan, angka-angka yang bisa naik dan turun tajam bagai roller coaster telah dilewati. Berikut perjalanan satu tahun COVID-19 yang telah dirangkum IDN Times.
1. Surabaya zona "hitam"
Awal pandemik di Kota Surabaya cukup kelam. Perlahan tapi pasti, penularan terus terjadi. Kota Surabaya sudah menjadi titik start COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Tak pelak, penularan terjadi begitu cepat. Dalam kurun waktu satu bulan saja, kasus akumulasi COVID-19 adalah separuh dari total keseluruhan kasus di Jatim.
Hingga pada Juni 2020, Pemerintah Provinsi Jatim menggolongkan Kota Surabaya ke dalam zona merah sangat tua bahkan menyerupai warna hitam. Surabaya pun dikenal sebagai satu-satunya zona hitam di Jatim akibat peta ini.
Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga, Dr. Santi Martini, dr., M.Kes menjelaskan bahwa tingginya kasus di Kota Surabaya memang tak bsia terelakkan. Hal ini tak terlepas dari karakteristik Kota Surabaya sebagai Kota Metropolitan. Mobilitas yang tinggi dari warga maupun pendatang membuat virus corona pun mudah menyebar.
“Karena virus corona ini kan bergantung pada pembawanya. Kalau banyak perpindahan dan interaksi dengan orang lainnya, maka virus ini juga semakin mudah menyebar,” ungkap Santi.
Selain itu, masa awal-awal pandemik bisa dibilang pemerintah masih gelagapan. Infrastruktur, sarana, dan prasarana tak memadai. Upaya tes pun sulit. Kala itu, untuk bisa mendapatkan tes swab PCR maka warga harus mengantre beberapa hari. Setelah dites pun, hasil baru keluar paling cepat satu minggu kemudian.
“Jika seandainya rapid dulu tidak susah, bisa tidak sampai seperti ini. Dulu kita gak punya alat rapid, swab susah. Dulu nunggu 2 minggu, 3 minggu. Akhirnya malah nular ke yang lain,” sesal Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita kepada IDN Times, 18 Juni 2020 lalu.
Apalagi, Kota Surabaya tak menerapkan pembatasan wilayah secara maksimal. Santi menilai bahwa pembatasan wilayah keluar masuk kota akan membantu untuk menekan penyebaran COVID-19.
"Dulu orang dari Jakarta masih bebas masuk ke Surabaya. Padahal saat itu Jakarta adalah episentrum. Akhirnya banyak terjadi penularan di Surabaya," imbuh Santi.