Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa saat di IGD Khusus Penyakit Menular RSUD dr Soetomo, Surabaya, Minggu (6/12/2020). Dok. Humas Pemprov Jatim

Surabaya, IDN Times – Banyak yang memprediksi COVID-19 akan menjadi bom waktu jika masuk ke Indonesia. Prediksi itu pun menjadi nyata. Sejak dua kasus pertama di Depok, Jawa Barat yang diumumkan pada 2 Maret 2020, korban yang terinfeksi virus SARS CoV-2 terus meluas sampai ke Jawa Timur (Jatim).

Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa mengumumkan kasus pertama pada 17 Maret 2020. Tak hanya satu kasus, tapi enam sekaligus. Keenam kasus itu dipastikan di Surabaya. Semua yang terkonfirmasi positif langsung dirawat di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA). Angkanya pun terus naik, bahkan berkali-kali lipat. Hingga Selasa, (16/3/2021), sudah ada 135.143 pasien yang terpapar COVID-19 di Jatim. Dari jumlah itu, 123.385 dinyatakan sembuh, 2.235 dirawat, sementara 9.523 pasien meninggal dunia. Pemprov pun menyebut tren kasus mulai melandai didasarkan pada jumlah kasus harian. 

Setahun berjalan, COVID-19 belum kendur. Padahal pelbagai upaya dilakukan untuk memukul mundur. Mulai dari kebijakan pembatasan, imbauan protokol kesehatan hingga yang sedang berjalan saat ini, vaksinasi. Belum berhasilnya mengusir corona ternyata dipengaruhi beberapa faktor.

1. Sejak awal harusnya lockdown Jabodetabek dan Surabaya

ilustrasi virus corona (IDN Times/Mardya Shakti)

Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga, dr. Muhammad Atoillah Isfandiari membaginya menjadi empat periode. Periode pertama, kurangnya kesiapan menghadapi awal masuknya COVID-19 ke Jatim khususnya Surabaya. Faktor utama yang mempengaruhi adalah tidak tegasnya pemerintah pusat mengambil kebijakan yang berdampak ke pemerintah daerah.

Terlebih, pemerintah mulanya terkesan menggampangkan COVID-19. Menurut Atoillah, kebijakan yang diambil tidak berpijak pada sains. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mewanti-wanti bahwa virus ini bisa menjadi pandemik.

Epidemiolog, kata dia, juga memberikan masukan agar pemerintah segera mengimbau masyarakat untuk mencegah penularan dengan cara menghindari kerumunan sementara waktu. “Tapi pemerintah malah mengambil kebijakan ambigu, mendahulukan kepentingan ekonomi atau kesehatan. Ini malah tidak dapat dua-duanya,” ujarnya saat ditelepon, Sabtu (13/3/2021).

“Bagaimana pun juga kita tidak bisa mencapai kedua-duanya dalam kondisi seperti ini,” dia menambahkan.

Jika boleh berandai-andai, kata Atoillah, harusnya pemerintah berani lockdown Jabodetabek dan Surabaya pada awal pandemik COVID-19. Karena langkah itu masih sangat visible dilakukan. Dia memberi contoh penanganan di Tiongkok, di sana yang lockdown tidak semuanya, hanya wilayah-wilayah yang terjangkit utamanya di Wuhan saat pertama pandemik.

“Beijing tidak di-lockdown, Shanghai tidak lockdown, artinya hanya Wuhan saja yang lockdown. Kita punya kesempatan itu ketika kasus masih dilaporkan di Jakarta dan Surabaya. Dibanding lockdown Jatim atau Pulau Jawa yang saat itu belum ada laporan,” terangnya.

2. Data antara pusat dan daerah tidak sinkron

Editorial Team

Tonton lebih seru di