Surabaya, IDN Times - Serikat pekerja/buruh di Jawa Timur (Jatim) menanggapi langkah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang menaikkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2025 untuk tujuh daerah di Jawa Timur. Kenaikan tersebut disahkan melalui Keputusan Gubernur (Kepgub) terbaru, menggantikan Kepgub sebelumnya yang diterbitkan pada akhir 2024.
Wakil Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jatim Nurudin Hidayat menyatakan bahwa pihaknya menghormati dan menerima perubahan UMK tersebut, meski penerapannya hanya berlaku untuk bulan November dan Desember 2025.
"Kami menerima dan mensyukuri adanya perubahan Kepgub UMK 2025 yang baru tersebut, meski hanya berlaku untuk bulan November dan Desember 2025. Setidaknya untuk kenaikan UMK tahun 2026 mendatang, basis pengalinya menggunakan Kepgub yang baru, yang nilainya lebih besar dari Kepgub lama,” ujar Nurudin, Kamis (23/10/2025).
Namun, FSPMI menilai kenaikan kali ini belum cukup menjawab kebutuhan riil pekerja di lapangan. Oleh karena itu, serikat buruh mendorong agar kenaikan UMK tahun 2026 berada di kisaran 8,5 hingga 10,5 persen, dengan mempertimbangkan dua indikator utama: pertumbuhan ekonomi dan inflasi tahunan.
"Untuk UMK 2026 kami berharap kenaikan upahnya sebesar 8,5–10,5 persen, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” tegasnya.
Nurudin juga mengonfirmasi bahwa Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jatim berencana menggelar aksi demonstrasi pada 30 Oktober 2025 di Surabaya. Aksi tersebut akan menjadi bentuk tekanan politik buruh untuk memperjuangkan kebijakan upah yang lebih berkeadilan.
“PERDA KSPI Jawa Timur berencana melakukan aksi demonstrasi pada tanggal 30 Oktober 2025 dalam rangka memperjuangkan kenaikan upah tahun 2026,” tegasnya.
Selain itu, FSPMI juga menyoroti disparitas upah antarwilayah di Jawa Timur yang semakin melebar. Menurut Nurudin, jika mekanisme kenaikan upah hanya berdasarkan persentase tanpa mempertimbangkan biaya hidup riil (Kebutuhan Hidup Layak/KHL) di masing-masing daerah, maka ketimpangan antara daerah industri besar dan daerah pinggiran akan semakin tajam.
"Harusnya dalam menentukan kenaikan upah berdasarkan survei kebutuhan riil buruh di masing-masing daerah. Kalau kenaikannya berdasarkan persentase, maka disparitas akan semakin lebar,” jelasnya.
Nurudin menambahkan bahwa perjuangan untuk memperkecil kesenjangan upah sedang diperjuangkan melalui revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, agar formula penentuan upah bisa lebih adil dan kontekstual.
“Terkait formulasi kenaikan upah untuk memperkecil disparitas sedang kita perjuangkan dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang baru,” pungkasnya.