Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur saat melihat video rekaman penampakan kapal yang diduga Van der Wijck. Dok Istimewa
Di tengah simpang siur penyebab tenggelamnya Van der Wijck, tak banyak kisah yang beredar di masyarakat Lamongan. Setidaknya hal itu dituturkan oleh nelayan setempat bernama Nur Akhmadi (45). "Ya cuma diceritakan kalau ada kapal tenggelam di sana. Terus ditolong sama nelayan Brondong. Paling itu saja," ujarnya.
Menurut Nur, oleh warga setempat, kapal Van der Wijck banyak dikenal dengan kapal Marena. Iya tak tahu pasti mengapa nama itu muncul. "Mungkin nama salah satu nama noni Belanda yang numpang di sana, saya juga kurang tahu," ujarnya.
Bahkan, kata dia, banyak pemuda di sana justru mulai mengenal Van der Wijck dari film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tahun 2013. Padahal, cerita dalam film tersebut diambil dari kisah rekaan dalam novel Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka pada tahun 1938.
Menurut Nur, film itu juga lebih beken ketimbang tetenger berupa monumen yang berada tak jauh dari lepas pantai Brondong. Monumen setinggi sekitar 10 meter itu didirikan oleh Kerajaan Belanda untuk membalas kebaikan para nelayan Brondong. "Awalnya monumen itu kan mercusuar kecil. Tujuannya untuk membantu nelayan setempat saat akan mendarat pada malam hari. Maklum saat itu mercusuar terdekat ada di Tuban," ujarnya.
Di monumen itu juga terdapat sebuah plakat bertuliskan, "Tanda-Peringatan Penoeloeng-Penoelong Waktoe Tenggelamnja Van Der Wijck, 19-20 Oktober 1936". Selain monumen, Kerajaan Belanda kala itu juga memberi sumbangan uang sebesar 3000 Gulden dan beberapa perahu.
"Sekarang kan monumennya ada di parkiran kantor Perikanan Nusantara. Jadi gak kelihatan. Harapannya sih diperbaiki aksesnya. Ditambah semacam museum mungkin lebih baik," ujarnya.