Bangku Sekolah (Javas Rabni on Unsplash)
Menurut Ima, pendidikan inklusif bukan sekadar memberi akses pada kelompok marjinal, tetapi memastikan semua anak—terlepas dari perbedaan ekonomi, latar belakang budaya, kondisi disabilitas, atau potensi akademik—belajar dalam ruang yang sama, dihargai perbedaannya, dan didukung sesuai kebutuhannya. Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) Pasal 24 dan target SDG 4 jelas menegaskan bahwa sistem pendidikan harus inklusif di semua jenjang dan tidak boleh memisahkan anak-anak berdasarkan kemampuan atau status sosial.
"Sistem yang inklusif justru mendorong keberagaman di dalam satu institusi pendidikan, bukan menciptakan kategori dan klasifikasi anak berdasarkan status atau performa," katanya.
Ima menyarankan, pemerintah perlu membenahi sistem pendidikan yang sudah ada secara menyeluruh, bukan menciptakan ruang baru yang segregatif. Prinsip Universal Design for Learning (UDL) perlu diadopsi dalam seluruh kurikulum dan strategi pengajaran. Ini berarti desain pembelajaran harus fleksibel, adaptif, dan mampu mengakomodasi cara belajar yang beragam.
"Selain itu, peningkatan kapasitas guru harus menjadi prioritas. Saat ini, data dari Bappenas menunjukkan bahwa kurang dari 30% guru di Indonesia pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan inklusif. Padahal, tanpa guru yang memiliki kompetensi untuk menerapkan pendekatan diferensiasi instruksional, inklusi hanya akan menjadi jargon belaka," katanya.
Terkait pendanaan, Ima berpendapat investasi anggaran perlu dialihkan dari membangun sekolah elit ke perbaikan infrastruktur dasar di sekolah-sekolah yang sudah ada. Aksesibilitas fisik, ketersediaan teknologi, dan fasilitas pendukung bagi anak dengan kebutuhan khusus harus menjadi bagian dari rencana besar nasional.
Menurutnya, sistem zonasi pendidikan sebaiknya dikembangkan untuk menciptakan ruang belajar yang mencerminkan keberagaman sosial ekonomi, bukan justru mempertegas pemisahan. Ini bisa dilakukan melalui regulasi zonasi campuran atau kuota sosial inklusif yang memungkinkan anak-anak dari berbagai latar belakang belajar bersama.
"Kita tentu mengapresiasi inisiatif negara dalam mencari solusi atas berbagai persoalan pendidikan. Namun, kita harus selalu ingat bahwa pendidikan bukan hanya soal ketersediaan bangunan atau prestasi akademik semata. Ini adalah soal martabat dan keadilan bagi setiap anak. Jika tidak diantisipasi dengan serius, Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda justru akan memperlebar segregasi dalam wajah yang lebih halus dan mungkin tak disadari," katanya.