Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Segregasi dalam Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda

Ilustrasi bangunan sekolah pada tahun 90-an (pexels)

Surabaya, IDN Times - Wacana tentang pendirian Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Salah satunya Dosen Pendidikan Luar Biasa, Sekretaris Disability Innovation Center UNESA, Ima Kurrotun Ainin, yang mengingatkan kebijakan itu agar tidak menjadi segregasi baru dalam sistem pendidikan Indonesia.

"Kedua model sekolah itu sama-sama menawarkan misi mulia: memperluas akses pendidikan dan mencetak generasi unggul. Tapi dalam konteks isu pendidikan inklusif, ada ketakutan arah kebijakan ini justru menciptakan bentuk segregasi baru," ujar Ima, Senin (26/5/2025).

1. Memutus rantai kemiskinan atau menumbuhkan Stigma?

ilustrasi Sekolah Rakyat (IDN Times/Sukma Mardya Shakti)

Tujuan Sekolah Rakyat digagas oleh Kementerian Sosial untuk memberikan layanan pendidikan gratis, termasuk fasilitas asrama, konsumsi, dan perlengkapan sekolah bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera, terutama yang tinggal di wilayah tertinggal. Program itu sangat relevan dengan kondisi saat ini, mengingat data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat sekitar 4,4 juta anak usia sekolah tidak bersekolah, dengan kemiskinan sebagai salah satu faktor utama.

Namun, kata Ima, muncul kekhawatiran atas risiko labeling dan stigmatisasi. Dengan mendesain sekolah yang khusus untuk kelompok miskin, tanpa kehadiran peserta didik dari latar belakang sosial ekonomi lain, Sekolah Rakyat berpotensi menjadi 'sekolah kelas dua'.

"Alih-alih menjadi jalan pemutus rantai kemiskinan, ia bisa justru memperkuat identitas kemiskinan itu sendiri. Ini bertentangan dengan semangat pendidikan inklusif yang menekankan pentingnya keberagaman sosial dalam proses belajar," katanya.

Menurut Ima, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan telah menyebut model ini sebagai bentuk diskriminasi terselubung. Pemisahan berdasarkan latar belakang ekonomi, meskipun niat awalnya adalah pemberdayaan, tetap saja dapat menjadi bentuk eksklusi sosial jika tidak dirancang dalam kerangka sistem yang integratif dan adil.

2. Sekolah garuda perlu mengaca pada kegagalan RSBI

Ilustrasi anak sekolah sedang bergosip (pexels.com/RDNE Stock project)

Sementara itu, kata Ima, Sekolah Garuda yang berada di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dirancang sebagai sekolah unggulan bertaraf internasional dengan fasilitas modern, kurikulum global, dan rekrutmen peserta didik dengan potensi akademik tinggi. Sekilas, ini seperti upaya melahirkan generasi pemimpin dan inovator masa depan yang bisa bersaing di tingkat global.

Namun, sejarah pendidikan kita mencatat bahwa pendekatan serupa pernah gagal. Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dijalankan sejak 2006 resmi dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2013 karena dianggap menyalahi prinsip keadilan sosial. RSBI ditengarai memperbesar ketimpangan karena hanya mampu diakses oleh kelompok menengah atas dan tidak ramah terhadap keberagaman latar belakang peserta didik.

"Sekolah Garuda berpotensi mengulangi kegagalan ini jika tetap menggunakan model seleksi ketat dan tidak memperhatikan prinsip inklusivitas. Di saat kita tengah memperjuangkan kesetaraan dalam pendidikan, pembangunan sekolah super-elit semacam ini harus diawasi secara ketat agar tidak menciptakan jurang yang makin lebar antara yang unggul dan yang biasa," katanya

3. Memahami akses pendidikan inklusif

Bangku Sekolah (Javas Rabni on Unsplash)

Menurut Ima, pendidikan inklusif bukan sekadar memberi akses pada kelompok marjinal, tetapi memastikan semua anak—terlepas dari perbedaan ekonomi, latar belakang budaya, kondisi disabilitas, atau potensi akademik—belajar dalam ruang yang sama, dihargai perbedaannya, dan didukung sesuai kebutuhannya. Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) Pasal 24 dan target SDG 4 jelas menegaskan bahwa sistem pendidikan harus inklusif di semua jenjang dan tidak boleh memisahkan anak-anak berdasarkan kemampuan atau status sosial.

"Sistem yang inklusif justru mendorong keberagaman di dalam satu institusi pendidikan, bukan menciptakan kategori dan klasifikasi anak berdasarkan status atau performa," katanya.

Ima menyarankan, pemerintah perlu membenahi sistem pendidikan yang sudah ada secara menyeluruh, bukan menciptakan ruang baru yang segregatif. Prinsip Universal Design for Learning (UDL) perlu diadopsi dalam seluruh kurikulum dan strategi pengajaran. Ini berarti desain pembelajaran harus fleksibel, adaptif, dan mampu mengakomodasi cara belajar yang beragam.

"Selain itu, peningkatan kapasitas guru harus menjadi prioritas. Saat ini, data dari Bappenas menunjukkan bahwa kurang dari 30% guru di Indonesia pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan inklusif. Padahal, tanpa guru yang memiliki kompetensi untuk menerapkan pendekatan diferensiasi instruksional, inklusi hanya akan menjadi jargon belaka," katanya.

Terkait pendanaan, Ima berpendapat investasi anggaran perlu dialihkan dari membangun sekolah elit ke perbaikan infrastruktur dasar di sekolah-sekolah yang sudah ada. Aksesibilitas fisik, ketersediaan teknologi, dan fasilitas pendukung bagi anak dengan kebutuhan khusus harus menjadi bagian dari rencana besar nasional.

Menurutnya, sistem zonasi pendidikan sebaiknya dikembangkan untuk menciptakan ruang belajar yang mencerminkan keberagaman sosial ekonomi, bukan justru mempertegas pemisahan. Ini bisa dilakukan melalui regulasi zonasi campuran atau kuota sosial inklusif yang memungkinkan anak-anak dari berbagai latar belakang belajar bersama.

"Kita tentu mengapresiasi inisiatif negara dalam mencari solusi atas berbagai persoalan pendidikan. Namun, kita harus selalu ingat bahwa pendidikan bukan hanya soal ketersediaan bangunan atau prestasi akademik semata. Ini adalah soal martabat dan keadilan bagi setiap anak. Jika tidak diantisipasi dengan serius, Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda justru akan memperlebar segregasi dalam wajah yang lebih halus dan mungkin tak disadari," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zumrotul Abidin
EditorZumrotul Abidin
Follow Us