Sedot Air Tanpa Listrik, Solusi Kekeringan di Kawasan Bukit Banyuwangi

Banyuwangi, IDN Times - Pasangan suami-istri, Juhara (60) dan Matrawi (80), merupakan satu dari ratusan keluarga di lingkungan Papring, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi yang belum pernah merasakan aliran air bersih ke rumahnya. Sejak pertama tinggal di sana sekitar tahun 1950-an, setiap hari, kedua warga lanjut usia tersebut harus mengambil air bersih menggunakan timba ke bawah jurang dengan jarak 130 meter dari rumah dan kedalaman vertikal 20 meter.
1. Keterbatasan ekonomi membuat Juhara tak bisa mengakses sumber air minum
Di sisi lain, Juhara yang hanya bekerja mencari bambu di hutan mengaku tidak sanggup menyalurkan sumber mata air ke rumahnya. Sebab, biaya berlangganan akses air ke Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (Hippam) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat mencapai jutaan rupiah.
Di luar Hippam, sebenarnya ada juga warga yang memiliki modal dan akses mata air. Dari total 600 Kepala Keluarga (KK) di Papring, terdapat 20 pengelola air yang muncul secara organik, atas nama Hippam maupun perorangan. Namun, tarif yang mereka tawarkan pun tak terjangkau olehnya.
Tidak hanya Juhara dan Matrawi, terdapat sekitar 150 kepala keluarga (KK) dari 600 KK di Lingkungan Papring yang belum bisa merasakan aliran air ke rumahnya. Padahal, mereka tinggal di kawasan hutan KPH Banyuwangi Utara yang banyak memiliki titik sumber mata air. Warga yang belum memiliki saluran air selama ini mengakses kebutuhan air dengan menumpang ke tetangga, serta musala yang memiliki tempat mandi umum.
Kondisi ini terjadi karena beberapa hal, seperti adanya perebutan sumber mata air antar penduduk, tidak adanya edukasi manajemen pemanfaatan air secara profesional dari pemerintah, ditambah menurunnya debit mata air akibat pengambilan bambu secara tak terkendali.