Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Riyanto
Mobil SPPG Mategal Parang begitu tiba di SDN 4 Ngaglik langsung diserbu siswa-siswi, mereka sigap memambantu membawakannya ke sekolah. IDN Times/Riyanto.

Intinya sih...

  • Mobil merah pengantar Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi momen hidup di sekolah kecil bernama SDN 4 Ngaglik di Magetan.

  • Lima murid sigap langsung maju untuk mengangkat kotak-kotak MBG seolah membawa hidangan hotel bintang lima.

  • Program ini juga mendapat perhatian langsung dari Bupati Magetan, Nanik Endang Rusminiarti, karena selain meningkatkan gizi anak-anak, juga membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi desa.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Magetan, IDN Times — Di lereng perbukitan di Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, berdiri sebuah sekolah kecil bernama SDN 4 Ngaglik. Sekolah itu hanya memiliki 35 murid. Bangunannya sederhana. Pun juga akses jalannya lebih mirip jalur off-road daripada rute menuju tempat lembaga pendidikan.

Namun setiap pagi, ada satu momen yang membuat halaman sekolah itu riuh, saat kedatangan sebuah mobil merah pengantar Makan Bergizi Gratis (MBG).

Mobil itu bukan truk besar, bukan pula kendaraan dinas yang gagah. Hanya sebuah Toyota Agya merah, yang ada skotlet 'SPPG Mategal Parang' di bagian kaca belakang dan pintunya. Warnanya mencolok, membuatnya tampak seperti tokoh utama dalam film petualangan kecil, nekat, tapi selalu berhasil menembus medan ekstrem.

1. Menerjang jalan terjal demi sekotak harapan

Mobil SPPG Mategal Parang menempuh jalan sulit, rawan pohon tumbang dan longsor. IDN Times/Riyanto.

Setiap pagi, mobil itu menyusuri jalan berbatu, bergelombang, dan kadang licin setelah semalaman diguyur hujan. Sopirnya, Zainal Abidin (28), sudah hafal betul setiap lekukan dan terjal jalan menuju Ngaglik.

"Kalau longsor ya berhenti dulu. Tapi paket tetap harus sampai," ujarnya kepada IDN Times, Rabu (19/11/2025).

Perjalanan Zainal menuju sekolah dasar itu sering terhambat amukan alam, seperti pohon tumbang, batu besar yang jatuh dari tebing, hingga jalanan yang nyaris hilang dimakan erosi. Namun semangatnya tak pernah surut. Ia tahu ada puluhan anak yang menunggu dengan mata berbinar.

Begitu suara mesin mobil terdengar dari kejauhan, sebelum mobilnya terlihat, satu siswa sudah siap berdiri di dekat pintu sekolah. Bagitu mobil itu terlihat, siswa itu langsung berteriak, “Mobil MBG datang!”

Sekejap, anak-anak yang sedang menghafal perkalian atau menggambar itu, langsung berhamburan keluar dari kelas. Mereka menyambut si mobil merah seperti kerabat jauh yang datang membawa hadiah dari kota.

2. Menyambut 'hidangan mewah'

Mobil SPPG Mategal Parang begitu tiba di SDN 4 Ngaglik langsung diserbu siswa-siswi, mereka sigap memambantu membawakannya ke sekolah. IDN Times/Riyanto.

Saat mobil berhenti, lima murid paling sigap langsung maju: Viona Paramita, Damai Cahaya Kamila, Novia Imrotus Sholikah, Arka Pramudia, dan Aska. Tidak ada yang menugaskan mereka. Mereka memilih sendiri menjadi “pasukan penjemput makanan”.

Dengan langkah hati-hati, mereka mengangkat kotak-kotak MBG seolah membawa hidangan hotel bintang lima. Wajah mereka bangga—karena mereka tahu, barang bawaan itu adalah kebahagiaan untuk seluruh teman-teman mereka.

"Enak banget. Di rumah jarang makan lauk lengkap begini," ujar Damai polos sambil mengayun-ayunkan kakinya menunggu jam makan tiba.

Sebagian dari mereka memang terbiasa makan lauk sederhana: hanya nasi dan sambal, atau sayur bening tanpa lauk saat paceklik. Tak heran jika menu MBG lengkap dengan lauk, sayur, dan buah menjadi “hidangan mewah yang jarang mereka nikmati”.

3. Mengubah semangat belajar, menggerakkan ekonomi desa

Menu MBG adalah makanan mewah yang jarang mereka nikmati. IDN Times/Riyanto.

Kepala SDN 4 Ngaglik, Samiran, melihat dampaknya langsung. “Anak-anak jadi lebih semangat. Yang biasanya telat, sekarang datang lebih pagi karena takut ketinggalan jatah,” ujarnya tersenyum.

Namun perjalanan kotak makanan itu tak terjadi begitu saja. Ada 50 warga Desa Mategal yang bangun sejak subuh bahkan ada yang mulai memasak sejak pukul 02.00 dini hari untuk menyiapkan 3.500 porsi makanan setiap hari.

Bahan makanan dibeli dari petani lokal lewat Koperasi Desa Merah Putih. Ada pula koki profesional, mantan juru masak hotel bintang lima, yang kini mengolah makanan anak-anak desa.

Kepala SPPG Mategal, Dian Nafi Firdaus, menegaskan, standar gizi dan kebersihan MBG harus dijaga. "Kami sudah kantongi Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi," katanya.

Program ini juga mendapat perhatian langsung dari Bupati Magetan, Nanik Endang Rusminiarti. Kata Nanik, dari 42 SPPG yang terbangun, 23 sudah beroperasi.

"Program ini bukan hanya meningkatkan gizi anak-anak, tetapi membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi desa,” tegasnya.

Nanik mengatakan, jika seluruh dapur SPPG aktif, lebih dari 3.000 warga bakal dapat pekerjaan. "Ekonomi meningkat, pengangguran berkurang, angka stunting turun. Menuju Indonesia Emas 2045 makin dekat," katanya.

4. MBG: Antara gizi, gotong royong, dan evaluasi berkelanjutan

50 orang karyawan SPPG bekerja sejak tengah malam hingga dini hari menyiapkan 3500 porsi untuk anak anak. IDN Times/Riyanto.

Program MBG ini juga menarik perhatian akademisi. Pengamat Ekonomi Mikro sekaligus dosen UNY, Dr. Muhammad Roy Aziz Haryana, S.E. M. Acc. menilai keberhasilan MBG di pelosok Magetan lahir dari rasa kepemilikan warga.

"Warganya merasa memiliki program ini, jadi mereka kompak mengelola dapur, bahan pangan, dan distribusi makanan,” jelasnya.

Namun ia mengingatkan perlunya evaluasi berkelanjutan mulai dari konsistensi standar gizi, pembagian beban kerja, hingga memberi ruang inovasi pada pengelola dapur.

"Pemerintah daerah sebaiknya menjadi fasilitator yang memberi ruang kreativitas, mendukung UMKM, dan memastikan standar gizi tetap terjaga.”

Di kota, makanan bergizi lengkap mungkin terasa biasa. Tapi bagi murid-murid SDN 4 Ngaglik, makanan ini adalah cerita masa kecil yang akan mereka kenang seumur hidup.

Sebuah cerita tentang kebahagiaan yang datang dalam bentuk sederhana, yaitu sebuah mobil merah kecil yang menembus kabut pagi, membawa kotak-kotak kecil berisi harapan.

Karena di sekolah terpencil ini, kemewahan bukan soal harga, tetapi tentang betapa jarangnya ia didapat dan betapa berharganya ia dirasakan.

Editorial Team