Rumah HOS Tjokroaminoto (IDN Times/Fitria Madia)
Tinggalnya Soekarno di rumah Tjokroaminoto bukanlah sebuah kebetulan. Bapaknya, Soekemi Sosrodihardjo adalah teman dekat Tjokroaminoto dan mengenal betul tokoh bangsa tersebut. Ia ingin putra satu-satunya itu untuk berguru pada salah satu pemimpin bangsa yang diakui para penjajah.
"Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat‐baratan. Karena itu, kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oieh Belanda sebagai Radja Jawa yang tidak dinobatkan. Aku ingin supaya kau tidak melupakan, bahwa warisanmu adalah untuk menjadi Karna kedua," terang Soekemi sebelum mengirim Soekarno.
Benar saja, selama di rumah tersebut Soekarno digembleng pemikirannya oleh Tjokroaminoto. Ia dicekoki buku-buku, buku apa pun. Buku-buku ini pun menjadi penyelamat Soekarno muda dari hari-harinya yang begitu nelangsa.
"Secara mental aku berbicara dengan Thomas Jefferson. Aku merasa dekat dan bersahabat dengan dia, karena dia berceritera kepadaku tentang Declaration of Independence yang ditulisnya ditahun 1776," kenangnya.
Pemikiran ini pun terus diolah dengan diskusi-diskusi bersama para "mahaputra", sebutan Seokarno bagi senior-seniornya. Ia belajar bahwa pemikiran bukan hanya untuk disimpan melainkan diamalkan.
"Setapak demi setapak aku menjadi seorang pencinta tanah air yang menyala‐nyala dan menyadari bahwa tidak ada alasan bagi pemuda Indonesia untuk menikmati kesenangan dengan melarikan diri ke dalam dunia khayal. Aku menghadapi kenyataan bahwa negeriku miskin, malang, dan dihinakan," batinnya sembari menatap rakyat Indonesia yang nampak menyedihkan. Saat itu juga, jiwa nasionalisme Soekarno terpantik untuk memperjuangkan nasib bangsanya.