Surabaya, IDN Times - Angin malam yang menembus sela ranting pepohonan kian menusuk tulang. Sementara jarum jam menunjukkan pukul 23.30 WIB. Aku berada di tengah komplek pemakaman Kembang Kuning, Wonokromo. Sembari menyantap gorengan dengan teh hangat sajian Bu Muji, aku menikmati gelapnya malam yang diramaikan dengan nyanyian jangkrik.
“Lagi nunggu apa mas?” sapa Bu Muji yang nampak penasaran. Wajar saja. Pasalnya, aku sudah duduk di sana selama lebih dari 1 jam. Warung Bu Muji tidak seperti tempat ngopi pada umumnya. Dia tidak memiliki meja sebagai alas makanan. Dia memanfaatkan konstruksi kokoh kuburan Cina sebagai mejanya.
Dia mengikat tali di antara pilar-pilar makam untuk menggantungkan minuman kemasan. Tepat di sebelah gelasku, terpampang tulisan pemilik kuburan yang meninggal tahun 2010 silam.
“Oh gak bu, cuma lihat-lihat aja,” jawabku setelah menyeruput teh yang sudah dingin. “Kalau jam segini mah belum keluar. Satpol PP belum razia,” sahut Bu Muji seolah sadar akan maksud kedatanganku. Mataku yang awalnya celingunkan kesana-kemari, kini fokus mendengar apa yang disampaikan sang pemilik warung
Makam Kembang Kuning dikenal sebagai "Pujasera" seks yang terkenal di Surabaya. Harganya murah. Mulai dari Rp50 ribu hingga Rp150 ribu, setiap pengunjung bisa merasakan kepuasan seksual. Inilah tempat dimana perempuan dan waria mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk menlanjutkan hidup.
“Satpol PP razia itu biasanya dua kali sehari, apalagi ini malam Sabtu. Nanti baru ramai sekitar jam tiga,” lanjut perempuan yang malam itu mengenakan duster hitam dengan motif batik oranye.