Reklamasi Surabaya: Gusur Mangrove Dahulu, Bencana Ekologis Kemudian

Surabaya, IDN Times - Mukminin (46) menatap resah dermaga sungai Jagir, Wonorejo, Surabaya. Di antara pepohonan yang rindang di tepi sungai, ia menyandarkan perahu sederhananya. Mukminin telah tinggal di kawasan Wonorejo sejak lahir. Ibu bapaknya mewariskan bekal ilmu melaut. Setiap hari, saat air sungai mulai meninggi, Mu'in akan bergegas bersama perahunya melintasi 4 kilometer sungai Wonorejo, melewati hutan mangrove hingga sampai ke tengah laut.
Sebagai kawasan yang dikepung oleh hutan mangrove, kepiting dan ikan keting menjadi komoditas andalan bagi Mukminin. Dua hewan laut itu menjadikan bakau dan muara sungai sebagai tempat mereka tinggal. "Dalam sehari itu kalau pas rezekinya, bisa dapat Rp500 ribu lebih, kalau gak rezeki ya Rp200 ribu. Tapi itu kotor, belum kepotong bensin. Kalau mencari kepiting itu 14-15 hari, ketika air pasang," ujar dia.
Kabar tentang rencana reklamasi Proyek Strategi Nasional Surabaya Waterfront Land (PSN SWL) membuatnya selalu merasa terancam. Ia gelisah karena proyek itu bukan hanya bisa menghilangkan mata pencahariannya, tapi juga mengancam hidupnya.
Proyek reklamasi itu masuk dalam rancangan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang Perubahan Kelima Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Proyek ini adalah Surabaya Waterfront Land yang mereklamasi lahan seluas 1.084 hektare di sisi timur dengan estimasi investasi mencapai Rp72 triliun.
Baginya, sungai, mangrove dan laut adalah hidupnya. Bila semua itu rusak, ia tak tahu lagi bakal seperti apa hidupnya dan anak cucunya nanti.
Kawasan Wonorejo tempat Mukminin tinggal selama ini dikepung oleh hutan mangrove. Hutan itu tak cuma jadi habitat bagi biota laut yang menghidupinya, tetapi lebih dari itu, mangrove adalah pelindung warga dari ancaman banjir rob dan hantaman gelombang tinggi. "Mangrove itu kan juga menahan gelombang,kalau banyak mangrove di pinggir pantai itu ombak-ombak agak aman lah, kena gelombang itu gak langsung ke masyarakat," terangnya.
Beruntungnya, pencinta lingkungan selalu menggelar penanaman pohon mangrove. Sehingga, mangrove di wilayah Wonorejo dan sekitarnya tetap terjaga. "(Setiap tahun) hutan mangrove bertambah, karena ditanam, kadang saya lihat ada komunitas menanam, Saya suka sekali, itu ke depan baik sekali untuk habitat laut berkembang biak di wilayah itu," tuturnya.
Namun, beda lagi bila nantinya proyek reklamasi ternyata harus mengorbankan hutan mangrove. Bisa saja, hutan tersebut dibabat untuk keperluan proyek. "Tapi nanti kalau dirusak sama reklamasi ya tidak tahu lagi," tuturnya.
Belum ada reklamasi saja, kawasan Wonorejo sudah kerap terjadi banjir. "Air pasang, terus ketambahan hujan, itu biasanya beberapa wilayah banjir," katanya.
Ia khawatir, ketika proyek tersebut berjalan, banjir rob di wilayahnya akan semakin parah. Apalagi, menurut pengamatannya, debit air di sungai Jagir semakin tahun semakin naik. "Pasti ada kekhawatiran, karena debit air itu setiap tahun naik," jelasnya. "Air laut yang biasanya parkir di area sebelum direklamasi, terus direklamasi jadi daratan, larinya ke mana, ya ke sungai ini (sungai Jagir), sungai ini gak mampu nampung ya ke got-got. Got gak mampu ya ke jalan. Jalan meluap permisi ke rumah-rumah, akhirnya yang kena dampak ya warga," ia menambahkan.
Kekhawatiran berikutnya adalah, bila proyek tersebut tetap berjalan, jangkauannya melaut akan semakin jauh. Tentu biaya yang ia keluarkan juga akan semakin banyak. "Dampak yang paling berat, perahu saya kan berat, kapasitas kecil, jarak tempuh dari bibir pantai 3 mil, kurang lebih 4 kilometer, kalau yang direklamasi 1000 hektare atau 10 kilometer ya jarak menuju tengah laut 10 kilometer lebih," sebutnya.
Bahkan, bila proyek tersebut benar-benar jadi, maka mau tidak mau, Mukminin harus mengganti perahu, mesin, alat tangkap dan menambah uang bensin. Sebab, perahunya saat ini tidak didesain untuk jarak yang jauh. "Kalau kita gak ngikuti perubahan perahu ya kita gak bisa kerja wong pinggir sudah direklamasi. Saya harus menganggarkan Rp75-100 juta untuk perahunya," tutur dia.
Mukminin pun sudah melakukan berbagai cara agar proyek ini batal, mulai dari menggelar aksi bersama nelayan-nelayan pesisir timur Surabaya, bertemu pemerintah kota hingga meminta rapat dengar dengan anggota DPRD Surabaya dan Jatim. "Saya cuma satu, kalau bisa jangan direklamasi, siapa sih yang diuntungkan soal reklamasi ini," kata dia.
Menurutnya, reklamasi sama sekali tak mengtungkan masyarakat. Justru proyek ini dapat merusak lingkungan Surabaya. "Reklamasi itu kan merusak, tapi kok ya diizinkan, kalau ingin mencari keuntungan lebih, paling tidak jangan merusak lah, lek gak iso jogo yo ojo merusak, tujuannya mencari untung tapi merusak alam kita ya ngenes, karena itu berhubungan dengan kami, nelayan," pungkas dia.

Apa yang dikhawatirkan Mukminin, ternyata juga dikhawatirkan Hendrawan (54) yang merupakan seorang aktivis lingkungan sekaligus pendiri Komunitas Nol Sampah. Ia mengaku prihatin dengan kondisi pantai timur Surabaya yang terus-menerus menjadi incaran proyek reklamasi.
Menurut pria yang biasa disapa Wawan itu, mangrove sangat berperan penting bagi Kota Surabaya dan sekitarnya. Mangrove bisa menjadi barrier atau penghalang yang melindungi daerah di belakangnya dari terpaan air laut. Mangrove bisa membuat potensi terjadinya abrasi dan intrusi air laut dapat diminimalisasi.
"Dulu mangrove Surabaya kan rusak, kemudian sekarang sudah mulai dibenahi dan bagus, tapi (kalau) sekarang mau dirusak lagi, kan jadi sesuatu yang mundur," tuturnya.
Menurutnya, masyarakat perlu berpikir panjang, mengingat di depan mata ada ancaman-ancaman nyata seperti kenaikan permukaan air laut yang disebabkan pemanasan global, bahkan banjir rob. "Keberadaan mangrove di pantai timur Surabaya berfungsi mencegah itu semua. Kalau ada mangrove, dia (mangrove) akan membuat sedimentasi alami di daerah pesisir," terangnya.
Menurutnya, keistimewaan pantai timur Surabaya terletak pada 22 jenis mangrove sejati yang tumbuh secara alami. Menurut pengakuan Wawan, mangrove pantai timur ini bahkan mengalahkan Mangrove Center Bali dan Mangrove Pantai Indah Kapuk. Sebab, mangrove di Surabaya adalah kawasan hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati. "Kalau gak ada mangrove, mungkin Surabaya sudah amblas karena longsor," tuturnya.
Gundulnya mangrove juga bisa mengancam keberlangsungan Jembatan Suramadu yang terletak di atas laut. Dalam proses pembangunan Suramadu, pihak-pihak terkait pasti sudah mempertimbangkan kekokohan jembatan dengan kekuatan arus saat itu. Jika ada perubahan struktur mangrove, ini bisa memengaruhi kekuatan jembatan tersebut.
"Dampak reklamasi tidak hanya dirasakan di daerah sekitar. Ada yang bilang reklamasi di Manado dan Makassar berhasil, tapi coba kita kaji, berdampak gak dengan daerah-daerah lain, karena sebetulnya dampak itu bisa bergeser," ujarnya.
Peran terpenting pantai timur Surabaya adalah menjaga Surabaya dari kehancuran, utamanya dari intrusi air laut. Saat pasang, air laut akan masuk ke darat jika tidak ada tumbuhan mangrove. Air laut yang asin ini perlahan-lahan memengaruhi kondisi air di darat, misalnya mengubahnya menjadi air payau. Selain itu, ketika air laut surut, bagian kosong yang tidak ditanami mangrove ini juga berpotensi amblas.
"Penelitian teman-teman di ITS menyebut sudah terjadi penurunan muka tanah di sekitar ITS dan Kertajaya (sebanyak) 1-2 sentimeter per tahun. Kalau di Jakarta, bisa sampai 6-7 cm (per tahun). Nah, ini lho bahayanya," ungkapnya.

Wawan mencontohkan dampak buruk reklamasi. Di daerah Surabaya Utara, kata dia, pernah dilakukan reklamasi untuk pembuatan pelabuhan Teluk Lamong. Proyek itu membawa dampak negatif bagi para nelayan yang harus mencari ikan lebih jauh dari bibir pantai, padahal perahu-perahu mereka tidak layak digunakan untuk berlayar ke tengah laut.
"Kalau di tengah (laut), mereka akan berhadapan dengan kapal-kapal besar yang mengancam mereka. Ini salah satu dampak reklamasi di Surabaya," jelasnya.
Wawan juga memaparkan fakta dari daerah Demak dan Semarang. Selain hilangnya mangrove, keadaan dua daerah ini semakin diperparah dengan adanya reklamasi untuk pembangunan bandara dan kawasan pelabuhan. Reklamasi ini menyebabkan perubahan arus laut. Dengan demikian, amblasnya tanah dan banjir rob tidak bisa dihindari lagi.
Bergeser ke Bali, Wawan mengatakan, reklamasi Pulau Serangan di Bali juga menimbulkan dampak negatif, misalnya perubahan arus laut yang menyebabkan abrasi di daerah Sanur dan Benoa. Bahkan, abrasi ini juga terjadi di Pantai Lebih, Gianyar, Bali, yang letaknya jauh dari Pulau Serangan. Semua ini berawal dari proyek reklamasi yang menyebabkan pembelokan arus laut.
Peristiwa lain terjadi di Pekalongan. Pembabatan mangrove menyebabkan Kabupaten Pekalongan harus merogoh kocek milyaran rupiah untuk memasang bedeng. Ini bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi.
Menurut pendapat Wawan, Mangrove Wonorejo tidak bisa seenaknya direlokasi. Letak Mangrove Wonorejo sudah sangat strategis, karena di sekitarnya terdapat dua sungai besar yang membawa nutrien dari sepanjang Sungai Brantas.
"Nutrien ini akan mengendap, kemudian diproses di mangrove, dan ini yang membuat burung-burung datang. Kalau ini dimatikan dan dipindahkan, jelas nggak bisa. Ini akan menjadi masalah serius sebenarnya," paparnya.
Pakar Tata Ruang Kota dan Lingkungan Hidup Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Putu Rudy Satiawan mengatakan, proyek PSN SWL ditinjau dari pembangunan tata ruang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya maupun Jawa Timur. Namun, Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian memiliki diskresi untuk melancarkan proyek tersebut, dengan tujuan bisa membawa dampak ekonomi yang luar biasa bagi masyarakat sekitar.
"Walaupun tidak sesuai dengan kebijakan di berbagai level, tetap saja dia kemudian diberikan sebuah keistimewaan, dan ditetapkan sebagai PSN," ujarnya.
Menurutnya, meski tujuannya adalah membawa dampak ekonomi bagi masyarakat, proyek ini justru dikhawatirkan berdampak buruk pada sosial ekonomi masyarakat dan lingkungan di Surabaya. Dampak lingkungan yang paling dikhawatirkan adalah soal rusaknya ekosistem di pesisir Surabaya.
"Dampak itu bisa lebar, tidak hanya mencakup dampak lingkungan di Surabaya, tetapi sampai juga di Madura, Sidoarjo, Pasuruan, dan Probolinggo," ujarnya.
Dia menjelaskan, sumber daya laut yang baik dihasilkan dari konidisi laut dengan habitat yang konsusif. Bila reklamasi berjalan, maka habitat laut dikhawatirkan juga hilang. "Sehingga dia (habitat laut) melakukan migrasi, kalau tidak bermigrasi kemudian punah. Bermigrasi pun tempatnya ada atau tidak, habitatnya yang mendukung," tuturnya.
Tak cuma itu, rekmalasi juga dikhawatirkan bakal merusak ekosistem mangrove yang berada di pesisir Surabaya. Meskipun secara rencana, proyek tersebut tidak menyentuh mangrove, tetapi karena ekosistem laut rusak karena reklamasi, maka juga dapat mempengaruhi jumlah mangrove
"Jadi yang dinamakan mangrove itu bisa mengalami penurunan bukan karena di tembang, tetapi habitatnya menjadi tidak sehat, kekeruhan meningkat, kekeruhan menurun, juga bisa menyebabkan mangrove nya mengalami ancaman," katanya.
Padahal selama ini, mangrove merupakan penopang hidup masyarakat pesisir Surabaya. Baik sebagai habitat laut. pencegah abrasi dan melindungi daratan Surabaya dari bahaya banjir.
Menurut Rudi, proyek ini tak memiliki urgensi, apalagi jika harus mengubah lautan menjadi daratan. "Mengapa harus mencari ruang baru dengan melakukan reklamasi, mengubah laut menjadi daratan, kenapa harus melakukan reklamasi di tempat itu. Itu kan peruntukannya sebetulnya adalah untuk daerah untuk penangkapan ikan, untuk daerah riset," terangnya.
Menurutnya, proyek Surabaya Waterfront Land ini sebetulnya ingin seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta yang memiliki dampak ekonomi besar di wilayah tersebut. Sayangnya, kondisi Surabaya dan Jakarta berbeda. "Kapasitas di Jabodetabek itu jauh lebih besar dari gerbang kertasusila, sehingga implikasi eknominya bisa berbeda. Katakanlah di Jakarta bisa 5 persen, di Surabaya barangkali 50 persennya atau mungkin lebih rendah lagi," pungkasnya.
Wajar jika proyek reklamasi ini digadang bakal membawa petaka lingkungan. Keberadaannya memang tak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kota Surabaya. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kota Surabaya, Irvan Wahyudrajat mengatakan, berdasarkan RTRW 2014-2034 Pemerintah Kota Surabaya, reklamasi hanya berada di zona tiga, tepatnya di kawasan Kenjeran. Sementara dalam PSN Surabaya Waterfront Land, reklamasi berada di zona 3-4 yang membentang dari wilayah Kenjeran hingga Wonorejo.
"(Berdasarkan RT RW Pemerintah Kota) Waterfront City ya (ada kegiatan wisata, ekonomi). (Waterfront City) banyak di negara-negara yang langsung (menghadap) ke laut. (Berdasarkan RT RW Pemkot Surabaya) bukan berbentuk pulau baru, tapi panambahan wilayah baru," ujar Irvan kepada IDN Times.
Rencana PSN Surabaya Waterfront Land yang berada di zona empat juga menjadi pekerjaan rumah. Sebab, zona tersebut merupakan wilayah hutan mangrove. Sehingga harus ada perubahan kajian terhadap dampak yang ditimbulkan. "Zona empat itu di kawasan mangrove, harus ada perubahan kajian dampaknya terhadap Surabaya seperti apa," terang dia. Namun, Irvan menyebut bahwa PSN merupakan kewenangan dari pemerintah pusat dan provinsi. Di Pemerintah Provinsi, reklamasi diatur dalam Perda Provinsi Jawa Timur nomor 10 tahun 2023 tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi Jawa Timur tahun 2023-2043.
"RT RW kita juga lagi review terutama ini (soal reklamasi), jadi RT RW itu kan ada RT RW provinsi, yang lebih berwenang (soal reklamasi) ya RT RW provinsi, karena yang dikembangkan ini kan wilayah laut," ungkap Irvan.
Kewenangan Pemerintah Kota Surabaya, kata dia, lebih pada dampak yang terjadi ketika proyek tersebut berjalan. Sejauh ini, Pemerintah Kota Surabaya belum melakukan kajian bersama pemerintah pusat dan provinsi mengenai dampak yang akan terjadi. "Iya nanti ada penilaian dan nanti kita diajak inj lah, bicara, dampaknya seperti ini ini," ungkap dia. Meski begitu, pemerintah Kota Surabaya mendukung proyek tersebut. ''Pada prinsipnya Pemkot mendukung kalau itu perbaikan ekonomi, lingkungan, gak masalah," kata dia.

Sementara itu, Juru Bicara PT Granting Jaya, Agung Pramono mengatakan, proyek tersebut sejak awal memang menuai pro dan kontra. Meski demikian, sebagai penggagas, PT Granting akan tetap menjalankan mekanisme dan prosedur yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
"Mungkin ada penerimaan yang bias karena memang untuk penjelasan ini butuh satu momen. Tapi perlu yang lebih soft. Dan itu mangkanya kita lakukan terus menerus (pendekatan)," tuturnya.
Agung menyebut, pihaknya tetap melaksanakan kewajiban sesuai prosedur. Setelah selesai mengurus perizinan wilayah laut, kini proses AMDAL untuk reklamasi. "Setiap perizinan pasti ada kajian-kajian akademis yang harus kami lakukan. Reklamasi pasti, AMDAL pasti dan nanti masih banyak lagi," ujarnya.
Salah satu pakar yang ikut melakukan kajian bersama PT Granting adalah Satria Damar Negara. Pakar dari Departemen Teknik Sipil ITS ini mengatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah kajian dan perencanaan soal banjir. "Memang awal itu, kalau dari sisi banjir, karena reklamasi kan gak nempel (degan daratan), jadi catatan kami itu tidak boleh ada perubahan di hilir, dari semua badan air utama dan primer yang mengalir itu diakomodir sekitar 300 meter, istilahnya kanal," kata Damar.
Pihaknya menjamin, proyek ini tidak akan membuat banjir di Surabaya semakin parah, degan catatan kondisi hilir sungai di Suraabya tidak terganggu. Bila hilirnya saja sudah terganggunya maka akan ada pengaruh di hulu sungai yang mengakibatkan banjir. "Tapi kalau dari hasil kajian terakhir memang tidak pengaruh penambahan sedimentasi di hilir, maka potensi banjir akibat reklamasi itu tidak ada," tuturnya.
Kemudian, soal jarak pulau reklamasi dengan daratan Surabaya yang hanya terpaut 300 meter, Damar menyebut itu tak ada masalah. Bila melihat pasang surut air laut di pesisir Surabaya, maka jarak 300 meter itu tak akan ada perubahan.
"Karena pasang surut itu kan kecepatan gelombang naik turunnya kan pelan dan kita cek dengan debit yang mengalir ke sana itu tidak ada perubahan pasang surut. Nanti kajian detailnya ada seperti itu.''