Surabaya, IDN Times - Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan kalau penyaluran dana hibah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim selama periodenya menjabat, sesuai prosedur. Hal ini disampaikannya usai dimintai keterangan penyidik KPK sebagai saksi kasus korupsi dana hibah pokmas APBD Jatim Tahun Anggaran 2021-2022.
"Saya sampaikan, semua proses penyaluran dana hibah oleh pemprov sudah sesuai prosedur," kata Khofifah di depan Gedung Ditreskrimsus Polda Jatim, Kamis (10/7/2025). Namun, Khofifah tak merinci mengenai prosedur maupun mekanisme yang dimaksud.
IDN Times mengonfirmasi Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jatim, Adhy Karyono. Ia juga tak mau menjelaskan gamblang terkait mekanisme hibah. Ia hanya pernah mencontohkan terkait pemberian hibah pemprov kepada KONI Jatim.
Adhy menegaskan bahwa pemberian hibah dari Pemprov Jatim kepada KONI Jatim sudah sesuai aturan. Apabila ada yang belum dilaporkan, menurut Adhy itu menjadi kewenangan KONI Jatim. Hal ini berkaitan dengan penggeledahan KPK di beberapa lokasi di Jatim terkait kasus hibah. Salah satunya ialah KONI Jatim.
"Kita memberikan hibahnya sesuai dengan aturan. Baik yang reguler maupun untuk event-event tertentu, PON, Porprov dan sebagainya,” kata Adhy. Sekdaprov Jatim itu mengatakan, nominal hibah yang diberikan kepada KONI Jatim tiap tahunnya senilai Rp55 miliar. "Untuk pembinaan olahraga. Kalau bonus di luar itu (Rp55 miliar)," ungkapnya.
Sedangkan terkait nilai hibah yang dikasuskan oleh KPK, yakni tahun anggaran 2021 - 2022, dari data yang diperoleh Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Jatim, Belanja Hibah pada APBD tahun 2021 sebesar Rp10.274.943.690.490,00.
Kemudian Belanja Hibah pada APBD 2022 dianggarkan sebesar Rp5.318.114.608.070,00. Sedangkan belanja hibah pada Perda 14 Tahun 2022 tentang APBD 2023 dianggarkan sebesar Rp3.365.394.584.224,00.
Pada 2022 lalu, Khofifah turut menjelaskan rinci mengenai mekanisme hibah yang diajukan DPRD Jatim. Dana hibah berasal dari pokok pikiran (Pokir) yang diambil melalui jaring aspirasi oleh para anggota dewan.
Dalam mengusulkan pencairan dana hibah, ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi. Tahapan pertama adalah penetapan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur. "Bentuk hibah itu kalau ada SK Gubernur (baru cair). Itu turun kalau ada verifikasi inspektorat. Verifikasi kalau ada tim turun bahwa lembaga ini betul," terangnya.
Nah, lembaga tersebut harus punya legalitas dari Camat. Setiap penerima dana hibah harus menandatangani tiga hal. Antara lain, pakta integritas. Pakta integritas itu isinya kurang lebih tentang kesiapan bertanggung jawab atau disanksi pidana apabila program yang disampaikan tidak sesuai. Kedua adalah penandatanganan surat pernyataan tanggung jawab mutlak. Penerima hibah tersebut nantinya bakal tanggung jawab mutlak melaksanakan sesuai pengajuan sampai pelaporan. Ketiga menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
"Tiga hal ini jadi tanggung jawab penerima hibah bukan aspirator, pihak aspirator atau anggota dewan hanya bertugas sebagai jembatan dalam penyaluran dana hibah berdasarkan dapil (daerah pemilihan) masing-masing melalui jaring aspirasi pokir," terangnya.
"Lalu sampai kepada keputusan ini masuk perencanaan penganggaran hibah tahun berapa, itu konektivitasnya penting antara aspirator," tambah dia.
Sementara itu, Anggota DPRD Jatim periode 2019 - 2024, Mathur Husyairi menjelaskan bahwa pencairan dana hibah harus atas persetujuan gubernur. Karena proposal awal pengajuan, membutuhkan tanda tangan gubernur.
"Proposal diajukan ke gubernur. Nanti diverifikasi dinas terkait," katanya. Jika lolos, akan dibuatkan pengajuan SK. "Nah, pengajuan SK ini sebenarnya gubernur sudah bisa mendeteksi. Karena anggaran hibah yang reses anggota DPRD itu kan aspiratornya muncul. Jadi kalau ada dewan dari Rp8 miliar, tiba-tiba muncul Rp30- Rp50 miliar kan patut dicurigai," imbuhnya.
"Nah di situ, saya menilai gubernur ini lalai dengan tanggung jawabnya selaku eksekutif yang memang bisa melakukan evaluasi dan monitoring. Dan ternyata itu tidak dilakukan. Bahkan 2019, sekdaprov keluarkan surat edaran tidak perlu melakukan monitoring terhadap hibah dan bansos," ungkap Mathur menegaskan.
Harusnya, kata Mathur, pengawasan tetap dilakukan ketat. Karena hibah ialah Belanja Daerah pada APBD. Porsinya terbagi antara eksekutif dan legislatif. Ia menyebut kalau hibah eksekutif lebih banyak.
"Di dewan itu, katakankan Rp7 tirliun dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) kita Rp20 triliun. Jadi di dewan hanya dapat hibah Rp2 triliun. Kalau pun dinaikkan di angka 13 persen (jatah hibahnya). Kalau PAD Rp20 triliun, kan hanya Rp2,6 triliun yang di legislatif. Nah, dari total hibah Rp7 triliun, sebanyak Rp4,4 triliun di eksekutif," terangnya.
Sementara untuk yang sedang terjadi kasus ditangani KPK, Mathur menyebut ada sistem ijon. Yakni skema memberikan cashback. Menurutnya, skema ini bisa dilakukan di depan maupun di belakang, sebelum dana hibah itu masuk ke masing-masing pokmas. "Angkanya (cashback) sampai 50 persen (dari jatah hibah)," pungkasnya.