Hartik Suryani saat sudah sembuh dari COVID-19. Dok. keluarga wahyu
Mengetahui suhu tubuh ibunya panas, Wahyu langsung inisiatif memberikan obat penurun panas. Keesokan harinya, Minggu (27/7/2021), batuk kering sang ibu tak kunjung membaik. Namun suhu tubuhnya sudah normal.
"Seninnya pamit mau periksa ke puskesmas, tapi aku feeling ini batuknya gak biasa soalnya panas juga. Terus aku antarkan ke UGD RSI (Wonokromo)," katanya.
Ketika berangkat ke sana, Wahyu sudah membawa kursi lipat sendiri. Persiapan itu ia lakukan karena khawatir tidak ada bed maupun tempat duduk untuk sang ibu. Tapi ternyata di sana masih ada bed, kemudian segeralah sang ibu diperiksa.
"Masih sisa satu bednya, ditawarin bagaimana penanganannya. Aku ikut standar rumah sakit, itu disuruh swab antigen dan foto thorax. Ternyata positif antigen," beber Wahyu.
Usai diperiksa, Wahyu diminta pihak rumah sakit langsung membayar. Ia sempat mengajukan BPJS Kesehatan namun ditolak. Alasannya kalau COVID-19 dibawa ke UGD gak bisa pakai BPJS Kesehatan, harus pasien umum. "Dari pada eyel-eyelan (berdebat, red) malah nanti gak ditangani, ya sudah aku bayar," tukasnya.
"Ketika sudah dibayar, barulah diinfus. Terus aku konsultasi ke dokternya. Katanya rumah sakit penuh, kalau mau rawat inap ya inden. Harus nunggu 20 pasien. Sempat ditawarin ke rumah sakit lain, tapi persyaratannya harus swab PCR. Opsi lainnya isoman," dia mengungkapkan.
Wahyu pun memilih isoman saja. Total yang ia habiskan untuk penanganan, swab antigen, injeksi atau infus dan foto thorax ialah Rp1,1 juta. Kemudian ia masih diharuskan menebus obat yang hanya digunakan tujuh hari, Rp1,3 juta. Keluar dari UGD sekitar Rp2,4 juta.