Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ngadmi bersama puluhan perempuan lainya saat tebang tebu di desa Mangunrejo Kawedanan Magetan. IDN Times/Riyanto.
Ngadmi bersama puluhan perempuan lainya saat tebang tebu di desa Mangunrejo Kawedanan Magetan. IDN Times/Riyanto.

Intinya sih...

  • Kerja berat dengan upah murahSudah setahun terakhir Ngadmi ikut menjadi buruh tebang tebu. Mereka bisa menyelesaikan lima hingga enam truk tebu, tapi upahnya hanya sekitar Rp50–55 ribu per hari.

  • Perempuan ikut jadi tulang punggungMeski identik dengan laki-laki, Ngadmi turun ke ladang untuk menopang ekonomi keluarga karena suaminya berpenghasilan pas-pasan.

  • Tantangan di lapanganNgadmi menghadapi tantangan besar seperti panasnya matahari dan kondisi tebu yang sulit ditarik. Namun, ia bertahan demi masa depan anak-anaknya.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Magetan, IDN Times – Di balik manisnya gula, tersimpan kisah getir perjuangan para buruh tebang tebu. Salah satunya dialami Ngadmi (38), ibu asal Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan. Sejak matahari terbit, ia sudah berjibaku dengan sabit di tengah hamparan tebu siap panen.

Bersama puluhan pekerja perempuan lainnya, Ngadmi memotong batang demi batang tebu yang menjulang. Teriknya matahari, tubuh lelah, hingga tangan yang kapalan tak membuatnya menyerah. Semua itu dilakukan demi satu harapan sederhana: agar anak-anaknya bisa terus bersekolah.

"Kalau uangnya nanti buat bekal sekolah anak, sama beli lauk-pauk,” tutur Ngadmi lirih saat ditemui di kebun tebu desa Mangunrejo Kawedanan, Minggu (21/9/2025).

1. Kerja berat dengan upah murah

Ngadmi bersama puluhan perempuan lainya saat tebang tebu di desa Mangunrejo Kawedanan Magetan. IDN Times/Riyanto.

Sudah setahun terakhir Ngadmi ikut menjadi buruh tebang tebu. Bersama kelompok berisi 25–30 orang, mereka dalam sehari bisa menyelesaikan lima hingga enam truk tebu. Namun, dari pekerjaan berat itu, upah yang diterima hanya sekitar Rp50–55 ribu per hari.

"Capek ya capek, panas ya panas, belum gatalnya daun tebu. Tapi ya harus dikuatkan mas, biar bisa bantu suami cari nafkah dan anak bisa tetap terus sekolah,” ungkapnya.

2. Perempuan ikut jadi tulang punggung

Ngadmi bersama puluhan perempuan lainya saat tebang tebu di desa Mangunrejo Kawedanan Magetan. IDN Times/Riyanto.

Meski pekerjaan ini identik dengan laki-laki, Ngadmi tak punya pilihan lain. Suaminya yang bekerja sebagai tukang kayu di usaha mebel hanya berpenghasilan pas-pasan. Karena itu, ia ikut turun ke ladang, ikut menopang ekonomi keluarga.

"Biasanya kan laki-laki yang tebang, tapi saya ikut bantu. Kalau musim panen tebu ya kerja, kalau tidak ya nganggur di rumah,” jelasnya.

3. Tantangan di lapangan

Ngadmi bersama puluhan perempuan lainya saat tebang tebu di desa Mangunrejo Kawedanan Magetan. IDN Times/Riyanto.

Bagi Ngadmi, tantangan terbesar bukan hanya panasnya matahari, melainkan kondisi tebu yang roboh atau bengkong sehingga sulanak-anaknya. “Menarik tebu itu loh Mas, aduh susah banget. Apalagi kalau roboh, tambah berat,” katanya.

Meski begitu, ia tetap bertahan. Upah kecil sekalipun dianggapnya sangat berarti demi masa depan anak-anaknya. “Yang penting bisa sekolah lancar. Itu saja sudah cukup buat saya,” ucapnya menutup percakapan.

Ngadmi adalah satu dari ribuan perempuan Indonesia yang ikut memikul beban keluarga dengan segala keterbatasan. Di ladang tebu Desa Mangunrejo, Kecamatan Kawedanan, Magetan, ia menunjukkan bahwa kerja keras dan cinta seorang ibu adalah bahan bakar terkuat untuk masa depan anak-anaknya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team