Surabaya, IDN Times- Akhir-akhir ini media sosial kerap meresahkankanku. Umpatan dan kata-kata kasar berseliweran di lini masa. Padahal, menjelang Pilpres 2019, media sosial seharusnya menjadi wadah bagiku dan millennials lain untuk mengenal dua calon pemimpin Indonesia lebih dekat.
Tentu saja tak sekadar mengumpat. Para politikus mengumbar keburukan lawan demi menggaet suara. Walhasil, bukannya kian mantap, aku justru semakin ragu menentukan pilihan.
Selain membuat para pemilih muda menjauh, adu umpatan di media sosial juga memunculkan polarisasi politik. Para loyalis Prabowo-Sandi atau siapapun yang mengkritisi kebijakan pemerintah akan langsung dicap sebagai “Kampret”. Sebaliknya, pemuji capaian Jokowi akan otomatis mendapat gelar “Cebong”. Dalam sekejap, media sosial menjelma bak kebun binatang.
Parahnya, sebutan-sebutan aneh bagi lawan politik tak hanya muncul dari akar rumput. Tokoh yang mereka idolakan, yaitu calon presiden dan wakilnya juga seakan-akan berlomba menciptakan istilah satir bagi rival. Sebut saja seperti “Sontoloyo”, “Genderuwo”, “Wajah Boyolali”, “Dungu”, serta “Buta dan Budeg”. Para pendukung pun menduplikasi istilah itu di dunia maya untuk menyerang kubu yang tak sepihak dengan mereka. Apakah harus seperti ini tampilan media sosial jelang Pilpres?