Aktivitas belajar orang tua di Kampoeng Batara. IDN Times/Mohamad Ulil Albab
Sementara itu, Widie mengatakan, persoalan rendahnya rasa bangga terhadap kampung halaman, tidak hanya terjadi di Papring, namun desa atau kampung lain yang terdiskriminasi hanya karena faktor geografis.
"Dari kondisi geografis di Papring, kami belajar dan mengolahnya, dari bahasa yang buruk kami pelajari dijadikan materi pembelajaran utama, kemudian dari dunia pertanian yang dianggap keterbelakangan juga jadi materi pembelajaran kami, sehingga mereka tidak malu dengan pekerjaan orang tuanya, geografisnya," terangnya.
Widie sendiri sering mendapatkan diskriminasi secara tidak langsung, hanya karena ia lahir dan dibesarkan di Papring.
"Karena kami berbatasan dengan hutan, diskriminasi lokasi masih kental, terbelakang lah, orang gunung lah, jadi sya ikut senang bangga, anak anak sekarang sudah bangga dengan kampungnya," ujarnya.
Ia juga mengambil celah bahwa di pendidikan formal juga tidak diajarkan secara spesifik agar anak didik mencintai kampung halamannya.
"Jadi ketika belajar keluar, dia ingin membangun kampung sendiri. baik secara fisik maupun pikirannya. Bukan pulang ke kampung, jadi orang pinter namun menggusur kampung sendiri. Dimana orang bodoh mau menggusur," katanya.
Jainoto (42), warga Papring turut mendukung setiap kegiatan yang berlangsung di Kampoeng Batara. Terlebih, anak Jainoto, Muhammad Rizki, juga belajar di Batara. Ia merasa ada perubahan sikap dan mental dari anaknya yang lebih berani menyampaikan ide dan gagasannya.
"Perubahan, dulu anak anak itu gak berani tampil sendiri, ngomong di depan orang, sekarang berani berani," ujar Jainoto.
Jainoto sendiri merupakan mantan Ketua RT yang menjabat tahun 2012-2016. Sebagai tokoh masyarakat, ia mengaku berinisiatif mengajak Anak-anak di lingkungan Papring juga aktif di Batara
Pertimbangannya, saat libur, Anak-anak cenderung menghabiskan waktu dengan bermain gawai.
"Di sini tidak menggangu aktivitas sekolah di formal, anak anak dari pada libur, hanya main gadget. Saya dan orang tua lain, inisiatif, 'dari pada nganggur Anak-anak di sini ayo kumpul ke sana. Di sini kan memang tidak ada pendaftaran lewat orang tua, jadi saya sendiri yang inisiatif menggerakkan Anak-anak," jelasnya.
Rasa bangga Jainoto sendiri muncul saat anaknya, ikut serta ke Jakarta, menghadiri undangan peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) tahun 2019. Jainoto menyebut, keberangkatan 24 Anak-anak Batara ke Jakarta jadi perbincangan hangat di Papring.
Apalagi, Anak-anak tampil di Taman Ismail Marzuki bisa membawakan seni tradisional kampungnya, ke peserta komunitas adat di Indonesia. Anak-anak membawakan seni pertunjukan "Srengenge Banyuwangi" berupa ragam permainan tradisional, tari, musik.
"Anak saya sendiri sama yang lain kan juga ikut ke Jakarta. Jadi sangat bangga. Dari situ juga banyak yang ikut serta," tuturnya.
Jainoto sebelumnya juga tidak percaya diri menyebut nama kampungnya saat berada di perantauan. Lokasi yang jauh dari kota menjadi salah satu penyebab ia tidak percaya diri.
"Saat saya merantau tahun 1999, teman saya mau masuk ke Papring, tanya rumah saya, saya hanya diam. Minder. Karena situasi kondisi di desa terutama jalan. Padahal secara administratif masih kelurahan," katanya.
"Kalau sekarang warga merasakan bahwa khususnya papring bukan desa biasa sudah, karena banyak kunjungan dari kementrian, orang penting kabupaten, bahkan dari luar kabupaten, dari Bali, Kalimantan, Jakarta. Dan teman teman mahasiswa penelitian juga di sini, akhirnya saya bangga," tambahnya.