Surabaya, IDN Times – Penurunan pendapatan daerah Jawa Timur dalam APBD 2026 memicu sorotan tajam dari dua fraksi besar DPRD Jatim, khususnya terkait strategi pemprov mengamankan fiskal di tengah ruang anggaran yang makin sempit. Pendapatan Jatim tahun depan dipatok Rp26,30 triliun, anjlok Rp1,96 triliun atau 6,94 persen dari usulan awal, dan turun drastis Rp9,17 triliun dibanding realisasi 2024.
Fraksi PDI Perjuangan menyebut penurunan pendapatan, terutama dari Transfer ke Daerah (TkD) yang jatuh hingga 24 persen akibat kebijakan konsolidasi fiskal nasional, sebagai sinyal serius bagi kemandirian ekonomi daerah. Juru Bicara Fraksi, Y Ristu Nugroho, menilai kondisi ini harus dijawab dengan strategi konkret memperkuat sumber pendapatan alternatif.
“Ini sinyal serius bagi keberlanjutan fiskal Jatim. Tingginya ketergantungan pada pusat menunjukkan lemahnya kemandirian daerah,” ujar Ristu.
Belanja daerah 2026 turut menurun menjadi Rp27,22 triliun. Namun Fraksi PDIP menilai struktur belanja menunjukkan ketimpangan. Sebesar 75 persen belanja operasi, sementara belanja modal hanya 5 persen. Bagi fraksi, kondisi ini mengharuskan efisiensi berkualitas.
“Efisiensi bukan sekadar menghemat. Efisiensi berarti memastikan setiap rupiah memberi manfaat bagi rakyat,” tegas Ristu.
PDIP juga menyoroti defisit Rp916,73 miliar yang ditutup dari SiLPA Rp7,28 triliun. Bagi mereka, besarnya SiLPA justru menunjukkan lemahnya serapan anggaran dan perencanaan. Karena itu, PDIP mendorong pemerintah provinsi melakukan reformasi pendapatan secara progresif, dari pajak yang berkeadilan, insentif UMKM, hingga perluasan basis pajak ke sektor hijau dan ekonomi digital.
Struktur PAD Jatim masih ditopang 76 persen oleh pajak daerah, terutama PKB dan BBNKB. PDIP menilai ketergantungan pada pajak konsumtif ini tidak berkelanjutan. Mereka mendorong revitalisasi BUMD yang kontribusinya stagnan, termasuk evaluasi menyeluruh, agenda profesionalisasi, dan percepatan transformasi bisnis yang sejalan dengan kebutuhan daerah.
Ristu juga mendorong kenaikan DBHCHT dari 3 persen menjadi 5 persen sebagai langkah memperkuat fiskal daerah. “APBD 2026 harus menjadi anggaran gotong royong, yang berpijak pada keberpihakan dan akuntabilitas,” tegas Ristu.
Sementara itu, Fraksi PKB juga menyuarakan keprihatinan mendalam. Menurut juru bicara fraksi, Ibnu Alfandy Yusuf, pendapatan daerah turun Rp2,8 triliun dibanding APBD 2025, dan PAD yang menjadi tumpuan justru stagnan. Tahun 2026, PAD hanya diproyeksikan tumbuh 2 persen, bahkan kontraksi Rp5,9 triliun atau 26 persen dari realisasi 2024.
PKB menilai hal ini sebagai bukti bahwa reformasi fiskal daerah belum berjalan efektif. Mereka menuntut langkah konkret. "Berupa pengawasan pendapatan yang lebih ketat, perbaikan basis data wajib pajak, dan fokus pada sektor-sektor yang mengalami penurunan paling tajam," pungkasnya.
