Hampir seluruh sawah milik warga dibangun kiling. (IDN Times/ Agung Sedana)
Bagi sebagian masyarakat di Banyuwangi, kiling dianggap hanya sebagai alat atau pengusir burung atau sekadar mainan tradisional semata. Namun bagi suku Osing, kiling memiliki makna dan filosofi mendalam yang erat dengan kehidupan seorang manusia.
"Kiling ini adalah tradisi peninggalan para leluhur suku Osing terdahulu," kata Kepala Desa Aliyan, Anton Sujarwo, Rabu (7/9/2022).
Menurut Anton, kiling ini tak hanya sekadar kincir angin yang dibangun untuk hiasan saja. Kiling, bagi suku Osing memiliki filosofi mendalam soal ketuhanan.
Pertama, sudah selayaknya seorang manusia harus senantiasa eling marang gusti pangeran (ingat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa). Ini mengajarkan bahwa manusia harus paham dengan kedudukannya yang rendah dari Sang PenciptaNYA.
Kedua, kiling yang tertiup angin selalu berputar diporosnya dengan arah yang sama. Artinya, selama ada udara (oksigen) di dunia maka waktu akan terus berjalan dan manusia harus selalu bergerak sebelum udara itu tiada.
"Selalu bergerak, artinya manusia harus terus melakukan hal-hal baik. Bekerja juga termasuk. Menjalankan setiap perintahNYA dan menjauhi laranganNYA," jelas Anton.
Ketiga, tiang kiling harus berdiri tegak keatas. Artinya, apapun yang terjadi dengan nasib manusia, mereka harus tegak lurus dengan keimanannya terhadapTuhan.