Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Nyala Perlawanan Gerakan Buruh dari Gen Z

Ilustrasi buruh, pekerja (IDN Times/Arief Rahmat)

"Kami tidak berharap anak-anak muda kritis ini cukup puas dengan situasi yang berjalan saja. Tapi perlu mikir perjuangan jangka panjang. Bukan cuma ramai hari ini, hilang besok,” ujar Jumisih, Ketua Bidang Politik Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).

Surabaya, IDN Times – Suara riuh terdengar dari kejauhan. Di antara kerumunan, anak-anak muda mengenakan kaus hitam membentangkan spanduk bertuliskan tuntutan upah layak. Wajah mereka tampak serius. Penuh semangat di tengah Kota Surabaya yang terik. Beberapa sibuk mendokumentasikan aksi dengan kamera ponsel, lalu mengunggahnya ke media sosial disertai tagar yang menyuarakan keresahan bersama.

Di sisi lain kota, suasana jauh lebih tenang. Sekelompok pekerja duduk melingkar di sebuah ruang serba guna. Tak ada pengeras suara atau orasi, tapi diskusi yang berlangsung tak kalah bergelora. Seorang perempuan muda berbicara tentang pentingnya cuti haid, cuti hamil, ruang laktasi, dan waktu istirahat yang layak. Mereka bukan sedang berdemo, mereka sedang merumuskan api perlawanan.

Keduanya adalah potret perlawanan. Bentuknya berbeda, tapi tujuannya sama: memperjuangkan hidup yang lebih layak.

Tidak mudah membangun kesadaran di kalangan pekerja muda. Dewi (26), salah seorang buruh di Mojokerto yang kini aktif sebagai pengurus serikat pekerja Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), mengakui bahwa pendekatan terhadap generasi Z memerlukan cara yang berbeda. Bukan karena mereka apatis, tapi karena banyak yang tidak tahu harus peduli pada apa.

"Sekarang beda. Banyak yang nanya, 'Emang penting ya ikut serikat?' atau 'Ini wajib gak sih?" kata Dewi kepada IDN Times, Kamis (17/4/25), saat ia mengenang awal mula mencoba mengajak teman-temannya bergabung.

Sikap skeptis itu bukan tanpa sebab. Di sekolah, isu perburuhan memang tidak pernah dibahas. Media pun lebih sering menggambarkan buruh sebagai objek demonstrasi ketimbang sebagai subjek perjuangan.

"Aku sendiri dulu gak tahu soal hak pekerja. Baru ngerti setelah ikut pelatihan dari serikat. Banyak teman-teman Gen Z belum dapat informasi itu,” ujarnya.

Kesadaran itulah yang perlahan mendorong Dewi mengubah strateginya. Ia tidak lagi hanya mengajak. Ia mulai mengedukasi. Bukan lewat seminar formal atau brosur serikat, tapi lewat obrolan santai saat istirahat, unggahan ringan di media sosial, atau diskusi kecil selepas jam kerja.

Dewi percaya sosialisasi itu juga bentuk dari perjuangan. Meskipun tidak langsung turun ke jalan, tapi menyadarkan teman-temannya satu-persatu itu penting. Baginya, edukasi adalah akar dari gerakan.

Di sela-sela jam istirahat, obrolan ringan sering kali bergulir menjadi diskusi serius. Rizky, 26 tahun, buruh di PT Parin Sidoarjo, misalnya yang menceritakan pengalamannya saat mengajak generasi muda untuk aktif dalam gerakan buruh bukan perkara mudah. Terlebih ketika banyak dari mereka menghindari segala hal yang berbau 'organisasi'.

"Kalau gak gabung Serikat, ya lewat meja-meja perkopian. Getok tular," kata Rizky pada IDN Times, Jumat (18/4/25).

Baginya, perlawanan tidak harus selalu dalam bentuk turun ke jalan. Kesadaran bisa lahir dari ruang-ruang sederhana. Ia memahami bahwa sebagian besar teman-teman seusianya merasa ragu atau bahkan tidak tertarik bergabung dalam serikat pekerja. Tapi itu bukan akhir dari perjuangan. Ia justru melihatnya sebagai titik awal pendekatan baru.

"Yang penting mereka tahu dulu. Kalau sudah tahu, pasti ada keinginan untuk ikut. Kalau ada 100 pekerja, minimal 50 harus kita edukasi dulu. Sisanya nyusul. Gak bisa semua langsung paham,” ujarnya.

Gaya Baru Nyala Perlawanan 

Gerakan buruh selama ini identik dengan demonstrasi massal dan barisan pekerja yang memenuhi jalanan. Namun, bagi Generasi Z yang kini mulai memasuki dunia kerja, bentuk perlawanan itu mulai bergeser.

"Anak-anak muda sekarang itu familiar dengan digital. Mereka lebih cepat, lebih fleksibel, dan cenderung enggan terikat dengan struktur organisasi seperti generasi kami dulu," kata Jumisih, Ketua Bidang Politik Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), kepada IDN Times, Minggu (20/4/25).

Sebagian generasi muda memang enggan terikat. Tapi bagi Jumisih, hal itu tidak masalah. Perlawanan hari ini memang tak harus seragam. Tidak semua anak muda ingin berada di bawah satu bendera. Justru, menurutnya, ini adalah peluang untuk memperluas wajah gerakan.

"Yang penting adalah kesadarannya. Mereka merasa resah dan bergerak. Kadang lewat media sosial, kadang ikut aksi. Tapi ada juga yang belum sadar, dan di situlah pentingnya pendidikan," katanya.

Gerakan buruh di era digital tumbuh dalam lanskap yang cair. Akses informasi lebih cepat, solidaritas yang bisa dibentuk hanya lewat tombol “retweet”, dan protes bisa disuarakan tanpa harus keluar rumah. Tapi ada sisi lain dari kemudahan itu: kerapuhan.

"Kita rame waktu tolak Omnibus Law, rame pas KUHP, rame pas TNI. Tapi setelah itu? Putus lagi. Gerakan besar muncul di momen besar, tapi kita gak punya struktur buat melanjutkan setelah itu,” ujar Jumisih.

Kondisi ini melahirkan tantangan baru, bagaimana menyambungkan semangat spontan dengan daya tahan yang terorganisir? Gerakan yang hanya hidup dari satu momentum ke momentum lain, lama-kelamaan akan kehilangan arah dan basisnya.

“Kami tidak berharap anak-anak muda kritis ini cukup puas dengan situasi yang berjalan saja. Kita perlu mikir perjuangan jangka panjang. Bukan cuma ramai hari ini, hilang besok,” tambahnya.

Maka lahirlah pertanyaan yang lebih besar: bisakah gerakan buruh generasi baru tetap lentur tanpa kehilangan struktur?

Perbedaan antara generasi lama dan generasi baru bukan hal yang perlu dihindari. Dalam banyak hal, perbedaan itu justru bisa saling melengkapi. Generasi senior punya pengalaman lapangan, pemahaman sejarah, dan jejak perjuangan panjang. Generasi muda punya kecepatan, kreativitas, dan strategi digital yang lebih segar.

“Memang kami punya keterbatasan fisik, tapi kami juga kaya pengalaman. Yang penting, kita saling mendekat. Jangan sampai justru menjauh karena beda cara,” kata aktivis buruh senior itu.

Jumisih menyebut perlunya ruang pertemuan, baik fisik maupun virtual, tempat generasi berbeda bisa saling berbagi, menyusun strategi bersama, dan bertemu di tengah, untuk strategi yang lebih baik ke depannya.

Dari pertemuan itu, harapannya muncul bentuk-bentuk baru perlawanan, tapi juga tak kehilangan arah. Bentuk yang mungkin tak punya nama resmi, tapi punya tujuan yang jelas. Gerakan yang lahir dari keresahan, dibentuk lewat obrolan, dikembangkan lewat media sosial, dan suatu hari nanti, mungkin akan menulis ulang sejarah perjuangan kelas pekerja.

"Nanti 5-10 tahun lagi, kita yang akan jadi pimpinan. Kalau dari sekarang gak sadar, gimana nanti bisa memperjuangkan hak kita?” jelas Rizky.

Stigma kiri menajuhkan gerakan buruh dari Gen Z

Di balik sulitnya regenerasi gerakan buruh di kalangan muda, ada jejak sejarah panjang yang tak bisa diabaikan. Airlangga Pribadi Kusman, S.IP., M.Si., Ph.D., pakar Sosiolog Politik dari Universitas Airlangga (UNAIR) menyoroti bahwa citra gerakan buruh di masa lalu masih membekas hingga kini.

"Gerakan buruh selama Orde Baru itu dicitrakan radikal, bikin rusuh, 'kiri'. Nah, persepsi itu yang kemudian banyak tertanam di khalayak, termasuk Gen Z yang akhirnya terkesan menjauh,” kata Airlangga pada IDN Times, Kamis (24/4/25).

Stigma itu tidak hanya menjauhkan anak muda dari gerakan buruh, tapi juga memutus rantai pengetahuan akan sejarah perjuangan kelas pekerja itu sendiri. Lebih jauh, Airlangga menyebut bahwa banyak pekerja muda bahkan tidak menyadari bahwa mereka juga bagian dari kelas pekerja.

"Siapapun yang bekerja untuk mendapatkan upah, baik di pabrik maupun di kantor, adalah bagian dari buruh,” jelas dosen UNAIR itu.

Airlangga tak menampik bahwa gerakan buruh hari ini memang cair. Konsolidasi bisa terbentuk di media sosial, kampanye bisa dimulai lewat story Instagram, dan solidaritas bisa muncul dari utas di X. Tapi jika hanya berhenti di situ, kata Airlangga, gerakan buruh lama-kelamaan akan kehilangan bentuknya juga.

"Dari fluidity di sosial media harus bertransformasi jadi concreteness atau bentuk nyata, yang bentuknya ya pertemuan, konsolidasi, aksi. Media sosial memang efektif sebagai alat, tapi jangan berhenti di situ. Harus ada pertemuan nyata, bentuk kolektif, yang nantinya bisa menyusun strategi," ujarnya.

Gerakan buruh bukan hanya tentang barisan yang memenuhi jalan, bukan hanya soal teriakan tuntutan, bukan hanya tanggal merah. Gerakan buruh hari ini tidak bisa lagi mengandalkan cara lama. Tapi ia juga tak boleh kehilangan bentuknya. Gerakan buruh adalah pengingat bahwa hak-hak pekerja tidak datang dari belas kasih — mereka harus diperjuangkan.

"Kalau generasi muda tidak membangun ruang kolektifnya hari ini, mereka hanya akan jadi penonton saat kebijakan dibuat tanpa mereka," tutupnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zumrotul Abidin
EditorZumrotul Abidin
Follow Us