SURABAYA, IDN Times — Di sebuah rumah sederhana di Kelurahan Sumberejo, Ngawi, sepasang pengantin duduk di kursi plastik, tanpa hiasan. Mereka menyambut para tetangga yang datang membawa doa. Tidak ada dekorasi megah. Rias wajah pun seadanya. Soto ayam hangat menggantikan menu katering yang beraneka rupa. Biaya resepsi? Hanya sekitar Rp1 juta. Tapi bagi Siti Fatonah (29) dan Ribut Ariyanto (34), yang terpenting adalah sah secara agama dan negara.
"Kami hanya ingin mereka hidup Sakinah, Mawaddah, Warahmah," ujar Hardi, kerabat sekaligus wali nikah, kepada media, Senin (5/5/2025).
Kisah pernikahan sederhana itu viral, membuka percakapan yang lebih besar: benarkah pernikahan harus dirayakan dengan pesta besar? Di tengah tekanan ekonomi, norma sosial, dan ekspektasi keluarga, semakin banyak pasangan muda yang memilih jalur lain, yakni menikah dengan konsep “intimate wedding”, yakni berarti pernikahan itu dilangsungkan dengan tamu terbatas, tempat yang privat, dan suasana yang hangat. Tapi apakah ini soal estetika semata, atau ada realitas sosial yang berubah di baliknya?
Setelah pandemik COVID-19, tren intimate wedding mencuat dan makin banyak digemari. Menurut Satria, PIC event di sebuah wedding organizer (WO) di Surabaya, konsep ini sekarang hampir selalu dipesan setiap bulan. "Banyak yang pengin menikah dengan konsep intimate, tapi seringnya terhalang keluarga. Keluarga tetap ingin undangannya banyak, seremonial, kayak biasanya," kata Satria pada IDN Times, Rabu (5/5/2025).
Satria menyebut ada dua jenis klien yang menginginkan konsep intimate wedding. Pertama, mereka yang memang menyukai suasana hangat dan personal. Kedua, yang memilih intimate karena ingin menekan biaya. Namun, ia menekankan bahwa pernikahan seperti ini tidak selalu lebih murah.
"Ada yang tamunya cuma 100, tapi mereka tetap sewa ballroom hotel, dekor mewah, catering enak. Malah lebih mahal dari resepsi biasa," ujarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa intimate wedding tak melulu soal menghemat budget. Banyak pasangan justru memilih konsep ini karena ingin menciptakan pengalaman yang lebih personal, bermakna, dan tidak terlalu formal. Mereka menginginkan momen yang benar-benar bisa mereka nikmati bersama orang-orang terdekat, bukan sekadar memenuhi ekspektasi sosial.
Di Surabaya sendiri, resepsi dengan 400-500 tamu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Maka dalam konteks ini, undangan sebanyak 100-200 orang pun sudah dianggap sebagai intimate. Bagi pelaku WO, baik pernikahan skala besar maupun kecil tetap bisa mendatangkan pemasukan. Namun, ada perbedaan mendasar dari sisi pengelolaan bisnis.
"Kalau nikahan gede, owner bisa kerja sama dengan lebih banyak vendor. Dan biasanya ada fee khusus dari kerja sama itu," kata Satria, menjelaskan bahwa resepsi besar memberi peluang lebih besar dalam aspek komersial. Sementara untuk acara intimate, skala kerja menjadi lebih kecil dan pengaturan lebih sederhana, namun tetap memberikan ruang bagi kreativitas dan penyesuaian konsep.
Di Malang, Devin memulai bisnis WO bersama temannya pada awal 2024. Meski tergolong baru, mereka telah mendapat dua klien untuk bulan Juni dan Juli 2025, salah satunya memilih konsep intimate wedding di sebuah restoran semi-outdoor.
Devin menjelaskan bahwa generasi muda saat ini cenderung sudah memiliki gambaran jelas tentang seperti apa pernikahan impian mereka. "Klien sekarang itu rata-rata udah punya wedding dream sendiri. Jadi kita tinggal bantu mewujudkan gitu," kata Devin pada IDN Times, Sabtu (10/5/2025).
Menurut Devin, intimate wedding bukan hanya tren, tapi cerminan gaya hidup dan cara berpikir generasi sekarang. Mereka ingin suasana yang dekat, akrab, dan tidak terlalu formal. Namun, jalan menuju pernikahan impian mereka tidak selalu mudah. "Ada klien yang pengin undang temen deket aja sama keluarga inti. Tapi biasanya orang tua pengin tetap undang koleganya. Nah, itu tarik ulurnya," tambahnya.
Ia juga mencatat bahwa media sosial turut membentuk preferensi gaya pernikahan di setiap masanya. Setelah viralnya pernikahan selebritas seperti Luna Maya, konsep pernikahan adat pun kembali dilirik. "Beberapa tahun terakhir banyak yang nikahnya pakai konsep modern, seperti pakai gaun besar gitu. Tapi sekarang banyak juga yang tertarik pakai adat, karena mungkin dilihat estetik dan lebih sakral," ujarnya. Di tengah tren globalisasi, bagi generasi muda, justru nilai lokal adat bisa kembali mendapat tempat karena tampilannya dinilai lebih autentik dibanding konsep modern.
Tren intimate wedding bukan semata soal biaya. Banyak pasangan justru mengeluarkan dana besar demi suasana yang personal dan nyaman. Namun, konflik muncul ketika idealisme pasangan bertemu dengan realitas sosial, seperti tuntutan keluarga, adat, dan status.
"Sebenarnya klien-klien kami itu tahu apa yang mereka mau. Tapi realitas sosial itu tetap ada, seperti pernikahan yang harus terlihat mewah di mata keluarga besar, atau biar sekadar tidak malu kalau mengundang teman," kata Satria.
Di satu sisi, pasangan ingin lebih intim dan sederhana. Di sisi lain, mereka harus menjawab ekspektasi banyak orang. Tak jarang, pilihan akhirnya adalah kompromi: pernikahan tetap digelar di venue seperti hotel atau restoran, tapi dengan undangan terbatas. Dekorasi tetap estetik, musik tetap ada, namun dengan skala yang lebih kecil.
Menurut dosen Sosiologi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Nur'aini Inayah, S.Pd., M.Sos., pernikahan dalam masyarakat Indonesia selama ini tak hanya dipandang sebagai penyatuan dua individu, tapi juga pertukaran simbolik, sosial, dan identitas. Resepsi yang besar biasanya menunjukkan solidaritas sosial, status ekonomi, dan menjadi ajang memperkuat jaringan sosial keluarga.
Namun, intimate wedding menghadirkan perubahan dalam cara nilai-nilai itu dipraktikkan. "Pertukaran nilai masih ada, tapi bentuknya berubah. Dulu ditunjukkan lewat banyak tamu dan pesta besar, kalau sekarang lewat pilihan tempat, dekorasi, dan suasana yang lebih personal," kata Inayah.
Inayah menyebut intimate wedding sebagai bentuk kritik terhadap budaya pamer. "Anak muda sekarang itu lebih memilih keintiman. Dan banyak yang merasa bahwa pernikahan besar justru menyita energi mereka dan mengaburkan makna sakral itu sendiri," tambahnya.
Perubahan ini, menurutnya, akan lebih terasa di kota besar. "Di desa, solidaritas sosial dan adat kan masih kuat. Perubahan mungkin akan terjadi, tapi tidak secepat di kota," ujarnya.
Media sosial juga memainkan peran besar. Dengan banyaknya konten tentang intimate wedding yang estetik dan hangat, pilihan ini menjadi lebih terasa wajar dan bisa dipraktikkan.
"Wedding organizer, vendor, influencer, media, semuanya ikut membentuk pasar. Tapi yang penting, kita sedang melihat bagaimana generasi muda sedang menyusun ulang prioritas mereka," kata Inayah.
Intimate wedding bukan sekadar pilihan gaya, melainkan refleksi atas kondisi sosial dan budaya. Di tengah tuntutan ekonomi dan tekanan keluarga, generasi muda mulai membentuk narasinya sendiri soal makna dari pernikahan. Mereka tidak lagi melihat pesta besar sebagai keharusan. Generasi muda kini membentuk ulang makna kebersamaan, cinta, dan perayaan. Dan mungkin, yang sedang mereka rayakan adalah ruang untuk memilih.
“Intimate wedding bukan hanya soal pesta kecil atau budget terbatas. Ini tentang bagaimana generasi muda merancang ulang cara mereka merayakan hidup, memilih keintiman, dan mengembalikan makna pada pernikahan,” pungkas Inayah.