13 Mei 2018 lima bom mengguncang Surabaya dan Sidoarjo. Ada 28 orang meregang nyawa, puluhan terluka. Melalui pengakuan saksi dan korban, kami mencoba menceritakannya kembali. Penuturan mereka menunjukkan bahwa apapun dalihnya, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan dan tak selayaknya mendapat tempat di muka bumi.
Surabaya, IDN Times - Seperti Minggu sebelumnya, pagi itu (13/5) Wenny Angelina (38) bersama dua putranya hendak mengikuti misa di Gereja Santa Maria Tak Bercela. Mereka rutin mengikuti misa sesi kedua yang selalu digelar pada pukul 07.30 WIB. Kala jarum jam menunjukkan angka 07.00 WIB, mereka bertolak ke gereja yang berada di Jalan Ngagel Madya No. 1, Gubeng, Surabaya. Walaupun jarak tempuh antara rumah dengan gereja hanya 10 menit, Vincentius Evan (11) akan merengek ketika mereka berangkat terburu-buru. “Kalau sama si kakak gak boleh terlambat, harus tepat waktu,” kata Wenny saat dikunjungi IDN Times di kediamannya.
Wenny juga ditemani seorang keponakan kecilnya, Evelin. Mereka bertolak ke gereja diantar oleh dua sanak familinya. “Kami hanya di-drop, kemudian mereka berdua ibadah ke Klenteng,” tutur Wenny. Biasanya, sang suami, Erry Hudojo menemani keluarganya beribadah. Akan tetapi, sejak Sabtu (12/5) Erry merasa tidak enak badan. Sehingga ia memilih beristirahat di rumah. Suasana pagi itu terasa begitu syahdu. Lingkungan gereja dipadati jamaah yang berlalu Lalang usai mengikuti misa sesi pertama. Penjaga parkir tampak sibuk mengarahkan mobil yang hilir-mudik. Tak ketinggalan dua polisi yang berjaga setiap akhir pekan. “Sama sekali gak ada firasat atau tanda-tanda terjadi sesuatu,” ujar Wenny.
Wenny bersama para jagoannya tiba di gereja sekitar pukul 07.14 WIB. Setelah berjalan beberapa langkah melewati pos penjaga, ia mendengar keributan yang disebabkan oleh dua pengendara motor. Saat itu, Wenny menduga mereka hanyalah pemuda yang gagal mengendalikan kecepatan.
“Aku kira motor itu remnya rusak. Ada sekuriti juga yang meneriakkan ‘hei hei’ gitu,” imbuhnya singkat. Dengan sigap Wenny menarik ketiga putra kecilnya agar terhindar dari tabrakan motor. Saat ia hendak menoleh ke belakang, tak ada lagi yang ia lihat selain cipratan darah yang menutupi kaca matanya. Tak ada yang ia dengar melainkan tangisan Nathanael Ethan (8), putra keduanya, menyebut namanya sembari merintih kesakitan.