Surabaya, IDN Times - Delapan lelaki duduk melingkar di atas trotoar. Mereka saling bertukar canda. Beberapa ada yang sibuk dengan telepon genggamnya. Ada juga yang bersandar di bahu satu sama lain dengan mesra. Mereka tampak betah berlama-lama di atas alas terpal dengan sebungkus tahu goreng di tengah lingkaran.
Malam itu, sekitar pukul 22.00 WIB, jalanan cukup ramai. Maklum, Minggu malam. Beberapa pejalan kaki lalu lalang di samping gerombolan yang berkumpul di tepi Jalan Karimun Jawa, Surabaya. Tak ada yang saling mengganggu. Mereka asyik dengan obrolan sendiri.
Sayup-sayup terdengar obrolan mereka. "Di tempatku nasi gorengnya murah. Cuma Rp10 ribu aja. Jarang loh yang harga segitu sekarang ini. Rame pol, jejer-jejer yang beli," ujar seorang lelaki berambut cepak dengan nada lembut.
Ia mengoceh sembari sesekali mencolek tangan lawan bicaranya. Ternyata mereka sedang adu testimoni nasi goreng mana yang paling murah dan enak di Kota Pahlawan. Tampak tak ada yang aneh dari mereka. Kecuali stigma sosial yang menempel pada kelompok terebut sebagai kelompok homoseksual.
Ya, delapan lelaki itu merupakan kelompok gay. Geng Kentir namanya. Mereka merupakan salah satu komunitas gay yang masih menunjukkan jati dirinya di Kota Surabaya. Geng ini juga penjaga salah satu identitas mereka yaitu Gang Pattaya, sebuah tempat yang dulunya menjadi ikon gay di Kota Surabaya. Meski kini, Pattaya tinggal nama dan kenangan di benak mereka.