Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Petak-petak SHM yang berada di Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep. (IDN Times/Khusnul Hasana)
Petak-petak SHM yang berada di Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Sumenep, IDN Times -  Muncul Surat Hak Milik (SHM) seluas 20 hektare area (Ha) di perairan Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep. Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (WALHI Jatim) pun meminta pemerintah untuk mencabut SHM tersebut. 

Berdasarkan penelusuran IDN Times setidaknya ada sebanyak 19 petak pada perairan Desa Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Sumenep yang berstatus SHM.  Masing-masing petak memiliki luas  antara 1000 meter persegi hingga 4.0240 meter persegi. 

Direktur Eksekutif WALHI Jatim, Wahyu Eka Styawan meengatakan, atas hal itu menandakan bahwa masyarakat Sumenep menghadapi ancaman serius dari privatisasi wilayah pesisir. Wilayah pesisir seluas 20 hektar, yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat lokal, kini dipetak-petak oleh pihak tidak bertanggung jawab atau aktor bisnis dengan klaim kepemilikan lahan melalui sertifikat SHM.

"Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya akan menghancurkan ekosistem pesisir tetapi juga memiskinkan masyarakat yang sudah hidup dalam kondisi rentan," ujar Wahyu melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (25/1/2025). 

Privatisasi pesisir di Gersik Putih dapat dipastikan akan membawa dampak ekologis yang besar. Fakta, bahwa mangrove yang berfungsi sebagai pelindung alami dari abrasi dan perubahan iklim terancam hilang akibat konversi lahan untuk tambak garam baru.

"Dengan hilangnya lahan hijau dalam hal ini kawasan lindung pesisir, karena proyek tambak garam, yentu akan memperparah bencana banjir rob yang kini terjadi setiap bulan, merusak rumah warga dan infrastruktur desa," terangnya. 

Dari sisi sosial-ekonomi, masyarakat Gersik Putih terjebak dalam dua pilihan sulit, yakni  menjadi buruh tambak garam musiman yang rentan terhadap cuaca atau merantau ke luar daerah. Keberadaan tambak garam yang mendominasi desa ini tidak memberi kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan warga, melainkan hanya menguntungkan segelintir orang. "Privatisasi wilayah pesisir Gersik Putih adalah bentuk perampasan ruang hidup masyarakat lokal. Melalui pengalihfungsian wilayah ini, nelayan tidak lagi memiliki akses ke laut, dan masyarakat sekitar akan kesulitan memanfaatkan pesisir," ungkapnya. 

"Masyarakat akan semakin terpinggirkan dan kehilangan kendali atas sumber daya alam yang selama ini menopang hidup mereka," imbuh Wahyu. 

Atas hal ini, WALHI dan Gerakan Masyarakat Tolak Reklamasi (GEMA Aksi) Sumenep menyerukan kepada pemerintah untuk menolak segala bentuk privatisasi wilayah pesisir di Gersik Putih.  Kemudian meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mencabut SHM di laut Desa Gersik Putih, Sumenep.

"Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus konsekuen menjalankan PERDA No. 10 Tahun 2023 tentang RTRW yang menyebutkan jika kawasan pesisir Sumenep yermasuk zona lindung," ucapnya. 

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sumenep jangan sampai menerbitkan izin di kawasan tersebut, karena seharusnya konsekuen dengan melindungi wilayah pesisir dan mangrove sebagai bagian dari ekosistem yang vital bagi kehidupan masyarakat pesisir.

"Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Sumenep wajib memberikan akses dan perlindungan kepada masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya pesisir secara berkelanjutan," pungkas dia. 

Editorial Team