Surabaya, IDN Times - ES (49) seorang ibu rumah tangga di Lampung, merasa kebingungan dengan apa yang dialami putrinya. Tak ada keceriaan memancar dari wajah putri sulungnya yang berusia 17 tahun itu. Semangat hidup memudar, tak ada kepercayaan diri, bahkan sempat tak bisa merasakan lapar.
"Pernah satu minggu itu, dia gak kemasukan (makan) nasi, terus berhari-hari gak tidur. Tapi kalau sudah tidur itu akan tidur terus. Secara fisik dia terlihat sehat, tapi saya perhatikan kok ada yang aneh dari anak ini, ternyata mentalnya sangat mengkhawatirkan," ujar ES menceritakan gejala putrinya kepada IDN Times sepekan lalu.
ES menceritakan masa-masa sulit dialami putrinya saat pandemik COVID-19 2020 lalu. Sebagai orang tua dia bingung harus berbuat apa. Hingga kemudian, ES terkaget saat putrinya tiba-tiba minta diantar berobat ke Rumah Sakit Jiwa pada pertengahan 2020 lalu. Untungnya, ES cepat sadar dan memahami kondisi anaknya ternyata memang sangat mengkhawatirkan. Sehingga, dengan sigap dia mengantarkan anaknya ke Puskesmas kemudian dirujuk ke psikiater di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.
"Sebenarnya waktu dia (anaknya) ngajak konsultasi ke psikiater itu saya syok tapi untungnya saya waktu itu segera memahami kalau orang-orang seperti anak saya ini harus dapat support dari orang tuanya, harus didampingi, dimengerti dengan penuh kasih," kata ES kepada IDN Times, Sabtu (19/10/2024).
Meski tak banyak mengerti tentang masalah kesehatan mental, ES berusaha semampunya untuk membantu anaknya sembuh. Selain rutin mengkonsumsi obat dari psikiater, ia juga selalu meyakinkan anaknya, semua akan baik-baik saja dan keluarga selalu memberi dukungan serta mendoakan yang terbaik.
"Saya juga sering bertanya, untungnya dia mau terbuka tentang kondisinya. Saya juga kadang kaget, dia tiba-tiba menangis atau minta peluk yang kenceng dan lama. Jadi saya biarin aja, dia melampiaskan rasa sedihnya. Karena dia juga gak ngerti kenapa tiba-tiba nangis. Nanti kalau sudah tidur saya elus kepalanya sambil saya doakan terus," ceritanya.
Namun ES tidak membiarkan anaknya terus-menerus bergantung pada obat untuk mengatasi kegelisahannya. Ia terus memberi nasihat bahwa diri sendiri juga harus bisa melakukan perlawanan. Selain itu ES juga mendorong anaknya untuk pelan-pelan melakukan aktivitas yang membuatnya nyaman dan semangat lagi.
Menurutnya, setelah rutin melakukan konseling dan minum obat selama 4 bulan, anaknya menunjukkan perubahan, mulai percaya diri dan memiliki minat untuk beraktivitas. Setelah lepas dari obat, anaknya masih rutin melakukan konseling secara online.
"Dari dulu anak saya terbiasa apa-apa harus perfect. Jadi dia selalu berusaha keras tapi ketika hasilnya tidak maksimal dia akan kecewa sama diri sendiri. Sebenarnya bagi orang lain pekerjaan dia udah bagus, tapi bagi dia selalu belum terlihat sempurna. Akhirnya itu menjadi tekanan buat dia sendiri karena selalu merasa tidak maksimal padahal sudah mengerjakan susah payah," tuturnya.
ES memahami, anak-anak sekarang tekanannya lebih berat sehingga sebagai orang tua ia hanya bisa memberi dukungan dan berpesan pada anak-anaknya, untuk selalu menceritakan masalah pada keluarga.
"Kalau ada apa-apa cerita sama keluarga terutama ibu dan ayah dulu, jangan ke orang lain. Walaupun misal gak ngasih apa-apa, pasti orang tua akan mendoakan yang terbaik," ucapnya.
***
Cerita ES itu bagian sekelumit dari fenomena gunung es masalah mental health remaja. Selain keluarga, sekolah juga patut aware pada isu kesehatan mental generasi alpha ini. Seperti cerita di Magetan, Jawa Timur, pada November 2023 telah ditemukan ratusan kasus remaja SD-SMA yang menyakiti diri sendiri atau self harm.
Dinas Kesehatan bersama Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga setempat telah mencatat ada sebanyak 800 siswa, 701 pada siswa SMP dan selebihnya ditemukan pada siswa SMA dan SD.
Temuan ini berawal saat ada sebanyak 76 siswa SMP di Kecamatan Ngariboyo, Kabupaten Magetan yang melukai lengannya sendiri menggunakan pecahan kaca, penggaris, hingga jarum. Lalu, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga setempat meminta Dinas Kesehatan melakukan skrining terhadap seluruh sekolah di Kabupaten Magetan.
Hasil skrining, ada 870 terjadi pada siswa Perempuan melakukan self harm. Rata-rata mereka melakukan itu karena ikut-ikutan. Terpengaruh teman dan mengikuti yang sedang tren di media sosial.
Dari kasus itu, pemerintah setempat kemudian bertindak. Mulai dari melakukan pemeriksaan kejiwaan pelajar sampai dengan mendatangkan psikolog. Dari penanganan itu, terungkap penyebab yang bermacam-macam. Mulai dari mereka yang hanya ikut-ikutan hingga terdapat permasalahan keluarga.
"Semisal di rumah dimarahi oleh orang tua kemudian siswa melampiaskannya dengan melukai tangganya sendiri. Kemudian kondisi orang tua tidak harmonis, kemudian sering dibanding bandingkan, dibully dan gabut. Tetapi saya tegaskan yang paling banyak ikut ikutan, begitu di-cut langsung tidak mengulangi lagi," kata Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Magetan, Suwata.
Data temuan permasalahan kesehatan mental remaja ini sebenarnya telah dilansir sejak 2022. Terutama setelah Pandemik COVID-19 mereda. Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), pernah melakukan survei kesehatan mental remaja usia 10-17 secara nasional. Hasilnya, yang telah dipublish di laman ugm.ac.id, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Angka itu setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
"Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki," terang Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.