Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251027
Kegiatan bertajuk “Sumpah Pemuda: Refleksi Cinta Tanah Air Melalui Batik AI Future Code” di Gedung Radius Prawiro, Kampus Petra Christian University (PCU) Surabaya, Senin (27/10/2025). IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Intinya sih...

  • Mahasiswa PCU menciptakan motif batik digital menggunakan kecerdasan buatan sebagai cara unik memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Bulan Batik Nasional.

  • Pameran 'Memetik Pucuk Batik' di Perpustakaan PCU mengajak pengunjung untuk mengalami proses kreasi motif batik digital berbasis prompt AI dengan tema semangat Sumpah Pemuda.

  • Ruang pameran 'Memetik Pucuk Batik' menampilkan dua sisi sejarah batik yang menarik, yaitu Batik Dolly dan Batik Belanda, sebagai bentuk nyata cinta tanah air di era digital.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Surabaya, IDN Times - Lantunan lagu Indonesia Raya mengalun di lantai 6 Gedung Radius Prawiro, Kampus Petra Christian University (PCU) Surabaya, Senin (27/10/2025). Di ruangan yang dikelilingi karya batik nan indah itu, para mahasiswa tampak menatap layar laptop mereka. Bukan sekadar membaca, tetapi sedang “menciptakan” motif batik digital menggunakan kecerdasan buatan.

Kegiatan bertajuk 'Sumpah Pemuda: Refleksi Cinta Tanah Air Melalui Batik AI Future Code' ini menjadi cara unik PCU memperingati Hari Sumpah Pemuda sekaligus merayakan Bulan Batik Nasional di Oktober. Menggabungkan nilai budaya, seni, dan teknologi, acara ini menjembatani warisan tradisi dengan masa depan digital generasi muda.

Berlangsung di Perpustakaan PCU, kegiatan ini juga menjadi bagian dari pameran 'Memetik Pucuk Batik' yang telah digelar sejak awal Oktober. Pameran tersebut dirancang untuk menunjukkan bahwa perpustakaan modern bukan lagi sekadar tempat menyimpan buku, tetapi juga ruang hidup yang memadukan fungsi GLAM — Gallery, Library, Archive, Museum.

"Kami mendefinisikan kegiatan ‘Batik AI Future Code’ sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan," tutur Kepala Perpustakaan PCU, Dian Wulandari. "Generasi muda menggunakan kecerdasan buatan untuk menciptakan motif batik yang relevan dengan zaman mereka. Ini selaras dengan filosofi ‘Memetik Pucuk Batik’, di mana generasi kini memanen warisan leluhur dan menumbuhkan tunas inovasi baru agar batik tetap abadi," imbuhnya.

Pameran ini mengajak pengunjung untuk tidak hanya melihat karya, tetapi juga mengalami langsung proses kreasi. Mahasiswa diberi kesempatan menciptakan motif batik digital berbasis prompt AI dengan tema semangat Sumpah Pemuda, mulai dari simbol Pancasila, Bendera Merah Putih, hingga figur pahlawan nasional seperti W.R. Supratman.

Kolaborasi lintas disiplin ini dipimpin oleh Dosen Desain Komunikasi Visual PCU, Aniendya Christianna. Kegiatan ini merupakan wujud nyata Tri Dharma Perguruan Tinggi — penelitian, pengajaran, dan pengabdian — yang diterapkan dalam format kreatif dan kontekstual.

"Pameran ini bukan sekadar perayaan kekayaan batik Indonesia,” jelasnya, “tetapi juga ajakan bagi generasi muda, khususnya Gen Z, untuk menyalurkan kecintaan terhadap tanah air dengan cara yang kreatif, imajinatif, dan menyenangkan," ungkapnya menambahkan.

Mahasiswa tampak antusias mencoba berbagai kombinasi warna dan pola yang dihasilkan AI. Beberapa memilih tema patriotik, lainnya menggali unsur lokal seperti flora nusantara atau simbol-simbol budaya dari daerah asal mereka. "Dengan teknologi, kami bisa menciptakan motif baru tanpa melupakan akar tradisi," ujar, salah satu peserta pameran, Elina sambil menunjukkan hasil desain batik digitalnya yang berpadu antara motif parang dan visual bendera merah putih.

Sementara itu, ruang pameran 'Memetik Pucuk Batik' begitu memanjakan pengunjung dengan dua sisi sejarah batik yang menarik. Batik Dolly dan Batik Belanda. Batik Dolly, dengan dominasi warna ungu dan motif urban ekspresif, memancarkan semangat kebangkitan dan transformasi dari kawasan yang dulu lekat dengan stigma sosial menjadi simbol pemberdayaan dan kreativitas.

Sebaliknya, Batik Belanda menghadirkan sisi historis dengan motif flora-fauna, kapal perang, dan figur tentara kolonial. Koleksi yang berusia lebih dari seabad itu menjadi bukti persilangan budaya antara Indonesia dan Belanda. Sebuah narasi visual yang mengajak pengunjung merenungkan sejarah bersama.

Keduanya dipadukan untuk memperlihatkan 'dua wajah batik' yang berbeda namun saling melengkapi, yang satu lahir dari keberanian sosial masa kini, yang lain dari jejak masa lalu yang patut dikenang. "Batik tidak hanya soal kain, tetapi juga bahasa budaya yang terus berevolusi,” katanya.

Pameran ini berlangsung selama sebulan penuh, menghadirkan ruang dialog antara tradisi dan teknologi, antara generasi terdahulu dan generasi masa depan. Bagi PCU, inilah bentuk nyata cinta tanah air di era digital, bukan hanya dengan mengenakan batik, tetapi juga dengan menciptakan versi baru dari warisan bangsa.

"Semoga kegiatan ini menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk mengenang jasa para pahlawan sekaligus melestarikan budaya bangsa," kata Aniendya. "Karena setiap motif batik yang tercipta adalah cerita, dan setiap cerita adalah bagian dari Indonesia," pungkasnya.

Di tengah semangat Sumpah Pemuda yang menggema, karya-karya batik digital hasil tangan dan ide mahasiswa PCU seolah berbicara satu hal yang sama. Bahwa cinta tanah air tak selalu harus berteriak, kadang cukup dengan satu helai kain, yang di dalamnya tersulam semangat persatuan dan kebanggaan menjadi anak Indonesia.

Editorial Team