Mengetuk Pintu Langit dari Masjid Al Basyariyah Desa Seribu Bulan

Madiun, IDN Times – Ribuan umat muslim dari berbagai penjuru Madiun Raya dan sekitarnya berduyun-duyun melangkahkan kaki menuju Masjid Al-Basyariyah di Desa Sewulan, Kabupaten Madiun, Kamis (27/3/2025) dini hari. Mereka datang dengan satu tujuan. Mengetuk pintu langit, agar cahaya Lailatul Qadar memendar di keheningan malam 27 ramadan.
Tak hanya warga lokal, jamaah dari Jombang, Mojokerto, hingga luar Jawa Timur telah memadati masjid sejak sore hari. Masjid berusia ratusan tahun itu, memang memiliki daya tarik spiritual dan historis yang kuat, menjadikannya salah satu tempat utama bagi umat Islam di Madiun untuk beritikaf.
1. Menanti cahaya di tengah keheningan malam

Tepat pukul 00.30 WIB, salat malam dimulai. Saat Gus Afif Nizam Ma’ruf, sang imam memulai takbiratul ikhram, lampu di sekitar masjid dimatikan. Keheningan menyelimuti ribuan jamaah yang meluber hingga di jalan. Ibadah berjamaah di malam ganjil itu berlangsung khusyuk hingga pukul 2.00 WIB.
“Lampu dimatikan sebagian untuk menghadirkan suasana agar lebih khidmat lebih khusyuk,” ujar Gus Afif.
Gus Afif menerangkan, rangkaian ibadah salat malam di Masjid Al Basyariyah tidak jauh beda dengan salat malam di masjid lain. Hanya saja, ibadah salat di sini ditambah dengan salat tasbih yang sedikit lebih lama.
Tradisi salat malam ini sudah berjalan kurang lebih 11 tahun. Semakin ke sini, semakin diminati jamaah.
Sejak tahun 2014, Masjid Al-Basariyah menjadi pusat perburuan Lailatul Qadar di Madiun. Awalnya, hanya puluhan jamaah lokal yang datang, tetapi tradisi ini berkembang pesat setelah takmir masjid mengadopsi konsep dari Masjid Tegalsari, Ponorogo. Kini, setiap malam ganjil ramadan, sekitar 5.000 jamaah hadir untuk beribadah.
Minat jamaah itu terlihat sejak petang. Sehingga, sejak pukul 21.00 WIB antrean untuk memilih tempat sudah tampak mengular. Banyak jamaah rela duduk di teras atau bawah pohon demi merasakan malam istimewa ini.
"Saya datang dari Kebonsari sejak magrib. Takut kehabisan tempat terbaik," tutur Hasan Ashari, salah satu jamaah.
Menurut Gus Afif, para jamaah semakin bertambah seiring perkembangan informasi digital yang cepat menyebar. Pihak ketakmiran adaptif dalam memberikan informasi jadwal salat malam melalui platform digital, seperti media sosial.
“Tim Takmir juga bergotong-royong dalam menjamu fasilitas para jamaah mulai dari tikar hingga makan sahur.”
2. Jejak sejarah di masjid seribu bulan

Masjid Al-Basyariyah bukan sekadar tempat ibadah biasa. Didirikan pada tahun 1740 oleh Kyai Ageng Basyariyah, seorang ulama pejuang, masjid ini juga menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Madiun di masa penjajahan kolonial Belanda. Bangunannya masih mempertahankan arsitektur klasik dengan atap limas bertingkat, tiang kayu jati yang kokoh, serta ukiran kaligrafi yang terjaga keasliannya.
“Ini adalah masjid tertua di Madiun. Selain untuk ibadah, dulu tempat ini juga menjadi pusat pendidikan dan perlawanan rakyat,” ungkap Takmir Masjid Al Basyariyah, Ahmad Yani.
Sementara Gus Afif menambahkan, nama masjid diambil dari nama pendirinya Kiai Ageng Basyariyah atau nama ningratnya RM Bagus Harun. Sedangkan nama ‘Sewulan’ memiliki riwayat tersendiri dari para pendahulu. Nama Desa Sewulan diambil dari bahasa jawa ‘Sewu Wulan’ yang berarti ‘Seribu Bulan’. Menurut cerita, kala itu ada songsong (payung kerajaan) dan lampit pemberian Paku Buwono II sebagai hadiah atas suatu bantuan Kiai Basyariah itu, sempat hilang dan ditemukan di malam lailatul qadar di daerah Sewulan saat ini.
“Menurut cerita bapak saya Kiai Ma’ruf Nawawi, nama Sewulan itu diambil dari min alfi syahrin sebagai potongan ayat dari surat Al-qadr dalam Alquran yang menjelaskan lailatul qodar itu ibadah malamnya lebih baik daripada 1000 bulan. Sehingga, bahasa jawanya disingkat Sewulan. Itu cerita dari bapak saya,” kata putra sulung KH Ma’ruf Nawawi ini.
Terletak di tengah rindangnya pohon sawo dan beringin tua, suasana masjid memang terasa teduh dan asri. Banyak jamaah yang mengaku mendapatkan spirit perjuangan islam bila beribadah di sini.
“Sejarahnya yang panjang seolah membawa kita kembali ke masa perjuangan. Doa terasa lebih menyentuh,” kata Toriq, jamaah asal Jombang.
3. Mengetuk pintu langit di malam 27 ramadan

Di tengah suasana khusyuk, ribuan doa dipanjatkan. Setiap jamaah membawa harapan masing-masing.
Hasan Ashari, pemuda 19 tahun asal Kebonsari misalnya, ia berdoa agar segera mendapat pekerjaan setelah lulus SMA. “Saya juga memohon kesehatan untuk orang tua,” ujarnya.
Sementara Yuanita (29), jamaah asal Jombang, berharap segera dipertemukan dengan jodohnya. “Sudah hampir kepala tiga, ingin segera menikah dengan pria saleh,” katanya tersenyum.
Tak hanya permohonan harapan pribadi, banyak jamaah juga mendoakan kedamaian negeri dan kesejahteraan masyarakat. “Kami bukan hanya beribadah, tetapi juga merajut harapan bersama,” kata Hasan yang datang berempat dari Kebonsari.
Gus Afif juga menegaskan bahwa semakin banyaknya jamaah yang hadir setiap tahun membuktikan bahwa Masjid Al-Basariyah bukan sekadar bangunan bersejarah, tetapi juga simbol hidupnya tradisi keagamaan di Madiun.
“Dengan arsitektur yang memesona dan nuansa spiritual yang kuat, masjid ini menjadi bukti harmonisasi antara warisan leluhur dan semangat zaman baru. Kami ingin tempat ini tetap menjadi mercusuar keimanan, seperti ketika Kiai Basyariyah mendirikannya dahulu.”
Perihal doa dan harapan, Gus Afif mengatakan bahwa hajat atau permohonan tentu beragam, karena semua orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Doa itu keyakinan, lebih mantapnya dilaksanakan bersama-sama atau berjamaah agar gampang terkabul.
“Semoga semua jamaah diterima ibadah puasanya. Semoga hajatnya diijabah oleh Allah SWT,” pungkas pria 42 tahun itu.