Ilustrasi. (pinterest.com)
Semasa kecil, Guno telah menjalani segala bentuk sikap diskriminasi dari teman lingkungannya. Dia pernah disebut sebagai dukun, kafir, atheis hingga penyembah setan. Tebang pilih pergaulan sukses menciutkan nyali dan mental Guno kecil saat itu. Meski hanya verbal, namun kasat mata menangkap tafsir yang berbeda atas sikap yang dipertontonkan teman sebaya terhadap dirinya.
Guno yang masih di bangku sekolah dasar, akhirnya pun enggan untuk meneruskan jenjang selanjutnya. Selama itu, tidak terhitung sudah berapa sanjungan miring dan stigma rendah yang diarahkan orang lain terhadapnya. Sebab itulah, arti kemerdekaan bagi Guno hanya berlaku untuk golongan mayoritas saja.
Memulai obrolan dengan IDN Times, Guno hanya tersenyum semringah saat ditanyai soal arti sejati kepercayaan Kejawen baginya. Meskipun gigi pria senja ini sudah tak lagi utuh, namun setiap pelafalan kalimat yang dia ucapkan masih terdengar cukup jelas.
“Kanggo opo sampean takon babakan Kejawen? Uwes, lakoni wae agamamu saiki. Manungso urip kuwi duwe lelakon dewe-dewe, ning dzat sing nyiptake kui siji (untuk apa kamu bertanya soal Kejawen? Sudah, jalani saja agamamu saat ini. Manusia hidup punya tujuan masing-masing, tapi dzat yang menciptakan hanya ada satu),” kata Guno menggunakan bahasa Jawa, Kamis (8/9/2022).
Guno lanjut bercerita, saat usianya menginjak usia dewasa dia disuruh oleh ayahnya untuk berguru dengan seseorang di Surakarta. Di situlah, Guno memperdalam pemahamannya tentang konsep ketuhanan dan kebatinan. Kaweruh, begitulah istilah Guno menyebutnya. Istilah ini merujuk kepada lima hal yang mendasari kepercayaan Guno.
“Atmo limo perkoro. Nur, rahso, nyowo, nafsu lan budi (ada lima hal. Asal, rasa, nyawa, nafsu dan akal,” kata Guno sembari menghitung jemarinya.