Surabaya, IDN Times - Seribu jurus sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi virus corona. Nyatanya, pagebluk yang melanda ini belum bisa digebuk. Masih mewabah dan bikin susah.
Masyarakat pun terombang-ambing dengan kebijakan-kebijakan yang tak konsisten. Isuk dele, sore tempe. Malah bikin orang pusing.
Pernah juga ada kebijakan bernama PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Besar. Maksudnya untuk membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah. Supaya tidak menularkan virus ke orang lain.
Pada akhirnya tak berjalan mulus. PSBB membuat perekonomian seret. Orang-orang di rumah malah sumpek tak bisa cari uang. Pemerintah pun melunak. PSBB dilonggarkan, hingga ditiadakan.
Di Surabaya Raya, PSBB berakhir pada 8 Juni 2020. Sejak saat itu lonjakan demi lonjakan kasus COVID-19 malah terjadi di Kota Pahlawan. Penambahannya mendekati 100 persen.
Sehari setelah PSBB, tepatnya 9 Juni 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) COVID-19 Surabaya mencatat ada 3.439 kasus, dengan kasus aktif 2.216 pasien. Kemudian pada 16 Juli 2020, total ada 7.431 kasus. Kasus aktif 2.792 pasien. Melihat suburnya laju penularan, Pemkot Surabaya seakan mencari "tameng" untuk membendungnya.
Berbagai upaya pun dilakukan. Mulai dari 3T, testing, tracing, dan treatment hingga pengetatan aktivitas layaknya mengadopsi penerapan PSBB. Beberapa pasal dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya pun mulai dirombak. Terbaru, pemkot menerbitkan Perwali Nomor 33 Tahun 2020 sebagai pembahuruan atas Perwali Nomor 28 Tahun 2020.
Perwali yang 'dilahirkan' ulang pada 13 Juli 2020 ini rupanya menuai polemik. Dua pasal yang banyak diperdebatkan adalah Pasal 12 ayat (2) huruf f dan Pasal 24 ayat (2) huruf e.
Adapun Pasal 12 ayat (2) huruf f berbunyi:
"Pedoman pelaksanaan tatanan normal baru pada kondisi pandemi COVID-19 pada kegiatan bekerja di tempat kerja untuk karyawan/pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, meliputi huruf f, wajib menunjukkan hasil pemeriksaan rapid test dengan hasil nonreaktif atau swab dengan hasil negatif yang dikeluarkan dokter, rumah sakit, puskesmas bagi pekerja yang berasal dari luar daerah yang berlaku 14 hari pada saat pemeriksaan."
Lalu, Pasal 24 ayat (2) huruf e yang bunyinya:
"Setiap orang yang melaksanakan perjalanan masuk ke daerah harus memenuhi persyaratan:
1. Menunjukkan identitas diri
2. Menunjukkan hasil pemeriksaan rapid test dengan hasil nonreaktif atau swab dengan hasil negatif yang dikeluarkan dokter, rumah sakit, puskesmas bagi pekerja yang berasal dari luar daerah yang berlaku 14 hari pada saat pemeriksaan
3. Kewajiban menunjukkan hasil pemeriksaan rapid test atau swab atau surat keterangan bebas gejala dikecualikan untuk orang yang ber-KTP, yang melakukan perjalanan komuter dan/atau orang yang melakukan perjalanan di dalam wilayah/ kawasan anglomerasi"
Meski ada beberapa pengecualian, kebijakan ini membuat banyak warga luar kota mengeluh. Surabaya yang sebelumnya jadi rumah bersama, seolah jadi tak ramah.