Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/Ardiansyah Fajar

Bulan ini, tepat setahun lalu, lima bom mengguncang Surabaya dan Sidoarjo. Ada 28 orang meregang nyawa, puluhan terluka. Yang lebih miris, semua pelaku mengajak serta keluarga dalam aksinya. Melalui pengakuan saksi dan korban, kami mencoba menceritakannya kembali. Kesaksian mereka menunjukkan bahwa, apapun dalihnya, terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan tak selayaknya mendapat tempat di manapun.

Surabaya, IDN Times - Pagi menjelang siang. Pukul 09.27 WIB. Langit mendung menyelimuti Kota Sidoarjo. Hujan deras sejak tadi malam kini menyisakan genangan. Cipratan air akibat ilir mudik kendaraan menyapa setiap pejalan kaki yang menghentikan langkahnya di depan komplek Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo.

Tidak jauh dari sana, terlihat seorang pria dengan pakaian oranye duduk sembari menunggu ampas kopi yang baru saja diseduhnya berkumpul di bawah gelas. “Mau nyari siapa?” tegur Madiyana yang ternyata pengurus rusunawa. “Di sini benar rusun yang Mei 2018 lalu ada bom ya?” jawabku demi meyakinkan alamat yang ku dapat dari halaman Google.

Karena dikira sebagai tamu, Madiyana segera berdiri dan memintaku untuk duduk di kursi yang telah disediakannya. “Oh iya, yang (almarhum) Pak Anton kan,” sahut dia.

ID Pers yang aku kenakan tampak mencuri perhatiannya, “Dari media ya? Ada perlu wawancara?”. Sepertinya, dia sudah begitu akrab berhadapan dengan awak media.

“Waktu bom meledak, bapak sudah bertugas di sini?” tanyaku untuk memastikan bahwa aku berbicara dengan orang yang tepat. “Oh, iya sudah. Waktu itu bulan pertama saya. Ketika ledakan saya juga langsung ke kamarnya Pak Anton,” jawabnya dengan sebatang rokok di tangan kiri dan pemantik di tangan kanannya.

Demikian perkenalan awal kami. Lima menit itulah yang mendahului perbincangan selama satu jam ke depan. Kamis, 11 April 2019, Madiyana kembali mengorek memori kelam setahun lalu. Kala ribuan penghuni rusunawa dikejutkan oleh ledakan tak bertuan hingga lusinan mobil bertuliskan Densus 88 tiba di tempat tersebut.

1. Tak ada yang berbeda dengan Anton pada hari kejadian

IDN Times/Ardiansyah Fajar

Minggu, 13 Mei 2018, publik Surabaya dikejutkan dengan rentetan bom yang menyerang tiga gereja dalam waktu bersamaan. Teror tersebut menjadi buah bibir di Rusunawa Wonocolo, tempat tinggal bersama yang dikelola oleh Dinas PUPR Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.

Tidak ada yang mencurigakan. Terlebih bagi nama yang tercantum di dalam 88 kartu keluarga penghuni rusunawa. Lokasinya yang berjarak 650 meter kantor Kepolisian Sektor Taman kian menambah rasa aman warga.

Begitu pula bagi warga yang mengenal sosok Anton Ferdiantono. Sekalipun lelaki berusia 46 tahun itu dikenal sebagai figur yang pendiam dan tertutup, semuanya menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang lumrah. Rutinitasnya tidak berubah.

Sehari-harinya, dia membantu Puspitasari, istri kesayangannya, mengantarkan kue yang dibuatnya untuk menyambung hidup.

Bersama empat orang anaknya, Anton dan Puspitasari bermukim di Blok B Lantai 5 No. 02. Di lantai yang sama, hanya berselang beberapa pintu, ibunda serta adik kandung Anton juga menyewa kamar. Mereka terdaftar sebagai penguni rusunawa sejak 2015.

“Gak ada yang beda, beliau tetap baik, ketemu tegur sapa. Aktivitas kayak kerja bakti atau kumpul warga beliau masih ikut,” terang Muttaqin, penghuni rusunawa yang tinggal tepat di seberang kamar Anton.

2. Pukul 20.45 WIB, ledakan keras menggegerkan warga Rusun

Editorial Team

Tonton lebih seru di