Kepala Advokasi dan Jaringan LBH Surabaya, Habibus Sholihin. (IDN Times/Khusnul Hasana)
Habibus menyebut, saat ini masalah pelanggaran HAM hanya menjadi isu lima tahunan yang dibahas saat pemilihan presiden (pilpres). Harusnya, hal ini menjadi atensi negara saat pelanggatan HAM itu terjadi.
"Ini yang menjadi catatan bahwa negara harusnya hadir apabila pelangggaran-pelanggaran HAM itu kemudian terjadi dan harus mengamini bahwa ini pelanggaran HAM dan harus dituntaskan, jadi bukan hanya sebatas kepentingan poltik, tetapi ini harus dituntaskan, komitmen ini sudah menempel, siapapun kepala negaranya," jelasnya.
Menurut dia, dalam rentetan pelanggaran HAM yang tejadi sampai hari ini sebetulnya yang harus dilakukan negara adalah membentuk pengadilan HAM. Hanya pengadilan HAM lah yang dapat memastikan apakah pelanggaran HAM dilakukan perorangan atau dilakukan oleh negara, seperti yang terjadi pada tragedi Kanjuruhan.
"Dugaan itu apakah betul ada suatu cawe-cawe, Kanjuruhan misalnya, itu siapa yang melakukan pelanggaran HAM, melanggar HAM itu kan bukan perorangan, tapi negara. Siapa negara ya bisa dilihat sendiri dalam hal jatuhnya korban lebih dari 135 jiwa itu," ungkapnya.
Bagi Habibus, Pengadilan HAM merupakan sebuah kebutuhan. Ketika ada pelanggaran HAM, maka ada tempat untuk mengadili pelanggar HAM.
"Ketika ada pelanggaran HAM kita ke mana, pasti ke Komnas HAM, kalau sekarang, ketika Komnas HAM mengatakan ini adalah pelanggaran HAM, tapi tidak ada pengadilannya artinya tidak selesai ini kasus," jelasnya.