Magetan, IDN Times – Daerah Kabupaten Magetan kini berada di ambang krisis air bersih. Data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) mengungkapkan, tinggi muka air tanah di wilayah ini terus mengalami penurunan drastis—mencapai 10 hingga 20 meter—dalam satu dekade terakhir. Situasi ini kian mengkhawatirkan seiring masuknya musim kemarau panjang tahun ini.
Krisis Air Mengintai Magetan, Permukaan Air Tanah Anjlok 20 Meter

Intinya sih...
Eksploitasi air tanah dan deforestasi menjadi penyebab krisis
Defisit air mencapai 85 juta meter kubik per tahun, mengancam pertanian
Pemerintah menerapkan pembangunan embung dan reboisasi sebagai upaya mitigasi
1. Eksploitasi dan deforestasi
Menurut Kepala DPUPR Magetan, Muhtar Wachid, penyebab utama dari krisis ini adalah eksploitasi air tanah secara masif melalui sumur dangkal. "Setiap tahun, sumur-sumur warga harus diperdalam agar tetap bisa mengeluarkan air. Sebagian besar menyedot dari atas lapisan kedap atau aquifer," ujarnya, Senin (17/2/2025).
Tak hanya itu, praktik penebangan pohon liar tanpa izin turut memperparah kondisi lingkungan. Hilangnya vegetasi menyebabkan berkurangnya daya serap air hujan ke dalam tanah, sehingga cadangan air bawah tanah terus menipis. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh rumah tangga, tetapi juga mengancam sektor pertanian, tulang punggung ekonomi daerah.
2. Defisit air capai 85 juta meter kubik per tahun
Muhtar menyebut, defisit air untuk kebutuhan irigasi dan pertanian di Magetan kini mencapai 85 juta meter kubik per tahun. Imbasnya, produktivitas pertanian turun drastis, bahkan beberapa wilayah berpotensi mengalami gagal panen.
"Biasanya petani bisa menanam dua hingga tiga kali setahun. Sekarang, paling banyak hanya dua kali, bahkan ada yang cuma sekali tanam," jelasnya.
Celakanya, pengeboran sumur dangkal justru semakin marak dengan kedalaman 50–60 meter, mempercepat penurunan muka air tanah. Jika tak segera diatasi, ribuan hektare sawah di Magetan terancam kering kerontang.
3. Upaya pemerintah
Untuk merespons krisis ini, DPUPR mengaku mulai menerapkan sejumlah upaya mitigasi. Mulai dari pembangunan embung, pengeboran sumur dalam, hingga reboisasi kawasan hutan yang gundul menjadi prioritas.
"Kami berharap, dengan penghijauan kembali, daya serap tanah meningkat dan sumur-sumur alami bisa terbentuk lagi. Ini penting untuk menstabilkan kondisi air tanah," tutup Muhtar.
Peringatan dini ini menjadi sinyal bagi seluruh pihak. Pemerintah daerah, komunitas, hingga individu diminta lebih bijak dalam menggunakan air tanah dan menjaga lingkungan demi keberlanjutan sumber daya air di masa depan.