Kepala BKKBN Jatim, Maria Ernawati saat menerima kunjungan untuk membahas stunting. Dok. BKKBN Jatim
Berbagai upaya intervensi memang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap stunting. Seperti bantuan permakanan, vitamin, pemantauan secara intens, program sanitasi bersih dan jamban sehat. Nah, intervensi tersebut mulai membuahkan hasil. Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Jatim, angka prevalensi stunting berdasarkan survei status gizi Indonesia tahun 2022 sudah di bawah nasional. Prevalensi stunting nasional sebesar 21,6 persen, sedangkan Jatim sebesar 19,2 persen.
"Di Jatim tahun 2022 (19,2 persen) ada penurunan 4,3 (persen) dari 2021 lalu yang masih 23,5 (persen)," kata Kepala BKKBN Jatim, Maria Ernawati.
Meski turun, Erna—panggilan karib Kepala BKKBN Jatim—mengakui masih menaruh perhatian daerah-daerah yang menjadi kantong stunting. Adapun data tahun 2022, Jember menjadi penyumbang tertinggi stunting. Sementara Surabaya prevalinsinya paling rendah dari 38 kabupaten/ kota di Jatim. Rincian data yang dihimoun IDN Times, Jember 34,9 persen, Bondowoso 32 persen, Situbondo 30,9 persen, Ngawi 28,5 persen, Lamongan 27,5 persen, Bangkalan 26,2 persen, Kota Batu 25,2 persen, Tuban 24,9 persen.
Selanjutnya, Bojonegoro 24,3 persen, Lumajang 23,8 persen, Kota Probolinggo 23,3 persen, Malang 23 persen, Jombang 22,1 persen, Kediri 21,6 persen, Sumenep 21,6 persen, Kota Pasuruan 21,1 persen, Pacitan 20,6 persen, Pasuruan 20,5 persen, Nganjuk 20 persen, Trenggalek 19,5 persen, Banyuwangi 18,1 persen, Kota Malang 18 persen, Madiun 17,6 persen, Tulungagung 17,3 persen, Probolinggo 17,3 persen, Sidoarjo 16,1 persen, Magetan 14,9 persen, Blitar 14,3 persen, Kota Kediri 14,2 persen, Ponorogo 14,2 persen, Kota Blitar 12,8 persen, Mojokerto 11,6 persen, Gresik 10,7 persen, Kota Madiun 9,7 persen, Kota Mojokerto 8,4 persen, Pamekasan 8,1 persen, Sampang 6,9 persen dan Kota Surabaya 4,8 persen.
Erna menyampaikan angka di kabupaten/kota itu sudah turun dibandingkan tahun sebelumnya. Nah, turunnya prevalensi stunting disebabkan dukungan berupa intervensi dari pemangku kebijakan di provinsi dan kabupaten/ kota yang luar biasa. "Terbukti dari dikeluarkannya regulasi tim percepatan pendamping keluarga. Baik di level provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota sampai desa. Saya rasa juga ada peran banyak elemen masyarakat multisektor termasuk akademisi yang berperan melalui penelitian dan pendampingan," ungkap dia.
Melihat intervensi terhadap stunting yang dilakukan secara pentahelix tersebut, Erna optimistis prevalensinya tahun ini turun sesuai target. Bahkan melampauinya. "Kalau pemerintah menargetkan di tahun 2024 itu 14 persen, kami komitmen capai di 13 persen. Untuk tahun ini target di Jawa Timur 16,8 persen. Kami sudah 19,2 persen di tahun ini bisa turun 16,8 persen," tegas dia.
Nah, untuk mencapai target tersebut BKKBN Jatim akan lebih intens dalam pendampingan keluarga yang berisiko stunting. Seperti calon pengantin, remaja, ibu hamil dan anak balita. "Itu kita damping, masing-masing dari keluarga berisiko stunting berbeda. Kalau pada calon pengantin bisa didorong merencanakan keluarga yang berkualitas baik fisik maupun mental, kepada yang lain nanti perlakuannya berbeda lagi," kata Erna menjelaskan.